Ketika muslimah
NU menghianati ulama'nya.
Telaah kritis
Madzhab NU tentang hukum Niqab (Cadar)
Oleh : Ibnu
Suyud at Tamimi
(Muhammad Fachmi
bin Suyud al Ghomawangiy)
Penghianatan yang saya maksut adalah
ketidak mauan mereka dalam menjalankan sariat atas apa yang ulama mereka
rumuskan dalam hukum syara’-fikih-. NU adalah salah satu aliansi pergerakan
umat yang paling gethol dalam meneriakan kewajiban bermadzhab dan konsisten
dengan madzhab. Bahkan tidak jarang diantara mereka yang mencaci sebagian golongan
umat islam yang tidak konsisten dengan Imam madzhab.
Ulama NU adalah ulama mulia yang
konsisten dengan madzhab mereka dan orang yang alim atas ilmu yang dimilikinya.
Konsistensi mereka ini bisa terlihat dalam tulisan-tulisan mereka yang laur
biasa, yang dimana mereka tuangkan dalam kitab-kitab karya mereka.
Namun konsistensi ulama yang mulia
ini tidak ditiru oleh para pengikutnya. Padahal seperti yang kita ketahui warga
NU adalah warga yang paling menghormati para ulama , pandai dalam meneladani para
ulama dan mendengarkan nasehat-nasehat para ulama. Tapi sayang para muslimah NU
telah luntur akan sikap tersebut. Salah satu wujud penghianatan yang saya
maksud adalah. Para muslimah NU tidak lagi mengindahkan syariat hijab dalam
menutup aurot sebagaimana di rumuskan oleh para Ulama-ulama syafi’iyah yang
dijadikan panutan para ulama NU.
Saya bukanlah orang NU delles-dalam
jawa : fanatik-. Namun saya adalah seorang mukmin yang bermadzhab syafiiyah.
Dimana madzhab Syafii ini juga dianut oleh ulama-ulama NU. Jadi jika ulama NU
mengatakan NU sejati adalah orang NU yang konsisten pada madzhab-Syafii- maka saya secara tidak langsung adalah NU
sejati. Pasalnya saya adalah orang yang konsisten dengan madzhab Syafii.
Meskipun pada kenyataanya saya ini bukan warga NU.
Salah satu rumusan fikih yang tidak
lagi diindahkan oleh para pengikut madzhab Syafii di tubuh NU adalah masalah
hijab. Dimana batasan aurot yang harus ditutup. Ulama dan warga NU sudah
menghianati madzhab dan ulama-ulama mereka. Buktinya adalah dimana ulama-ulama
NU mengajarkan para muslimah tata cara berhijab yang tidak bersesuaian dengan
madzhab mereka dan parahnya kesalahaan ini juga diikuti muslimah-muslimah NU
pada umumnya. Sebelumnya disini saya katakan bahwa para ulama Syafii telah
mewajibkan memakai niqab (pakaian hijab yang menutupi seluruh tubuh, termasuk
wajah dan matanya yang sebelah) kepada para muslimah bila mereka hendak keluar
rumah atau bertemu dengan lelaki yang bukan mahrom/ajnabi.
Pendapat
ulama Syafiiyah tentang wajibnya niqab.(Bercadar/ menutup wajah)
Salah satu kitab ulama Syafiiyah
yang populer menjadi rujukan utama ulama,santri dan warga NU yaitu salah
satunya adalah kitab Kifayatul
AKhyar Fii Hilli Ghoyatil Ikhtishor, yg ditulis oleh Imam Taqiyuddin
Abu Bakar bin Muhammad al Husaini ad Damsyaqi asy Syafi'i, Penerbit ; Darul Khoir
Damaskus, thn 1994.hal.181.
disebutkan
bahwa :
ويُكره أن يصلي في ثوب فيه صورة وتمثيل ، والمرأة
متنقّبة إلا أن تكون في مسجد وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر ، فإن خيف من النظر
إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب
“Makruh
hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula
wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat. Kecuali jika di masjid kondisinya
sulit terjaga dari pandnagan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang
oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan
niqab (cadar)-” (Kifaayatul Akhyaar, 181).
Jelas sekali pendapat al Husaini As
Syafii diatas bahwa aurot wanita dalam sholat adalah seluruh badan kecuali
wajah dan tangan. Dan aurot wanita diluar sholat adalah seluruh badan termasuk
wajah.
Ibnu
Qaasim Al Abadi berkata:
فيجب ما ستر من الأنثى ولو رقيقة ما عدا الوجه والكفين
. ووجوب سترهما في الحياة ليس لكونهما عورة ، بل لخوف الفتنة غالبًا
“Wajib
bagi wanita menutup seluruh tubuh selain wajah telapak tangan, walaupun
penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan
karena keduanya adalah aurat, namun karena secara umum keduanya cenderung
menimbulkan fitnah” (Hasyiah Ibnu Qaasim ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 3/115).
Ibnu Qasim mewajibkan menutup wajah
dan telapak tangan bukan beralasan karena wajah dan tangan adalah aurot. Karena
menurut Ibnu Qasim wajah bukanlah aurot yang wajib ditutup. Namun diwajibkanya
menutup wajah adalah karena wajah adalah sumber fitnah yang harus ditutup.
Syaikh
Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi, penulis Fathul Qaarib, berkata:
وجميع بدن المرأة الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وهذه
عورتها في الصلاة ، أما خارج الصلاة فعورتها جميع بدنها
“Seluruh
badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam
shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan”
(Fathul Qaarib, 19)
Syaikh Al Ghazzi menerangkan akan
wajibnya menutup seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan bila diluar
shalat karena aurot diluar sholat adalah adalah seluruh tubuh. Namun bila dalam
sholat adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan. Karena syara menyuruh
menghadapkan wajah ketika sholat.
Syaikh
Sulaiman Al Jamal berkata:
غير وجه وكفين : وهذه عورتها في الصلاة . وأما عورتها
عند النساء المسلمات مطلقًا وعند الرجال المحارم ، فما بين السرة والركبة . وأما
عند الرجال الأجانب فجميع البدن
“Maksud
perkataan An Nawawi ‘aurat wanita adalah selain wajah dan telapak tangan’, ini
adalah aurat di dalam shalat. Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di
hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di
hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan” (Hasyiatul Jamal Ala’
Syarh Al Minhaj, 411).
Kejelasan dari Syaikh Sulaiman akan
perkataan Imam Nawawi akan wajibnya menutup wajah dihadapan lelaki yang bukan
mahram. Yaitu dengan kalimatnya “. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan
mahram adalah seluruh badan”
Asy-Syarwani,berkata:
إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي
كل بدنها ما سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها
حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم : كعورة الرجل »اهـ ـ
أي ما بين السرة والركبة ـ
“Wanita memiliki tiga jenis aurat,
(1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah
dijelaskan- yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan,
(2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi,
yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang
mu’tamad,
(3) aurat ketika berdua bersama yang
mahram(suami), sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha”
(Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj,
2/112)
Sebuah kejelasan lagi dari Asy
Sarwani bahwa wanita wajib menutup seluruh tubuhnya dihadapan lelaki ajnabi
atau lelaki yang bukan mahramnya.
Jadi kesimpulan dari keterangan para
ulama Syafiiyah diatas adalah aurot wanita yang wajib ditutup adalah seluruh
badan kecuali wajah dan tangan bila dalam sholat. Karena memang syara menuntut
membuka wajah dalam sholat. Dan haram hukumnya menampakan wajah jika diluar
sholat terlebih kepada ajnabi atau lelaki yang bukan mahromnya, kerena aurot
diluar sholat adalah seluruh tubuh termasuk wajah yang dimana harus ditutupi
(berhijab). Inilah pendapat mu’tamad dari ulama Syafiiyah mengenai wajibnya
memakai cadar.
Pendapat
ulama NU tentang wajibnya niqab/memakai cadar.
Maksud dari ulma NU adalah ulama yang dijadikan rujukan kitab karanganya
oleh ulama NU. Di antara buku yang terkenal di kalangan NU adalah kitab
Safinatun Najah yang maknanya adalah perahu keselamatan.
Sebuah
kitab bagi pemula yang hendak belajar
fikih Syafii. Kitab ini ditulis oleh Salim bin Sumir al Hadhrami-berasal dari
Hadramaut Yaman- namun beliau meninggal di Jakarta.
Ketika
membahas tentang aurat, penulis mengatakan:
فصل: العورات أربع: الرجل مطلقا والأمة في الصلاة ما
بين السرة والركبة.
“Fasal
(tentang aurat)
Aurat
itu ada empat macam:
Pertama, aurat laki-laki dalam semua
keadaan dan aurat budak perempuan adalah bagian badan antara pusar dan lutut.
وعورة الحرة في الصلاة جميع بدنها ما سوي الوجه
والكفين.
Kedua, aurat perempuan merdeka
(baca:bukan budak) ketika shalat adalah seluruh badannya kecuali wajah dan
kedua telapak tangannya.
وعورة الحرة والأمة عند الأجانب جميع البدن.
Ketiga, aurat perempuan merdeka dan
budak perempuan yang harus ditutupi ketika bersama dengan laki-laki ajnabi
(bukan mahrom) adalah seluruh anggota badannya.
وعند محارمهما والنساء ما بين السرة والركبة.
Keempat, aurat perempuan merdeka dan
budak perempuan yang harus ditutupi ketika bersama dengan laki-laki yang
berstatus mahrom dengannya adalah bagian badan antara pusar dan lutut”
(Safinatun Najah yang dicetak Nurud Duja-terjemah Safinatun Najah dalam bahasa
Jawa- hal 58-59, terbitan Menara Kudus tanpa tahun).
Tegas dalam kutipan di atas bahwa
menurut penulis Safinatun Najah seorang perempuan merdeka harus menutupi
seluruh tubuhnya (termasuk mata) tanpa terkecuali ketika bertemu dengan
laki-laki ajnabi baik di rumah, di warung, di pasar ataupun di sekolah.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh
Kyai Asrar bin Ahmad bin Khalil Wonosari Magelang dalam Nurud Duja fi Tarjamah
Safinatun Najah. Terjemah Safinatun Najah dalam bahasa ini diberi kata
pengantar oleh penerjemahnya pada tanggal 17 Sya’ban 1380 H atau 1 Januari 1961
M dan diberi kata sambutan oleh Kyai Muhammad Baidhawi bin Abdul Aziz Lasem
pada tanggal 27 Jumadil Akhir 1380 H atau 16 Desember 1960 M dan Kyai Bisri
Mushthofa Rembang pada 28 Jumadil Akhir 1380 H atau 17 Desember 1960 M.
Di
halaman 59, Kyai Asrar pada komentar no 3 mengatakan, “Nomer telu: aurate wadon
merdeka lan amah naliko sandingan karo wong lanang liya yo iku sekabehane
badan”.
Yang artinya dalam bahasa Indonesia,
“Macam aurat nomer ketiga adalah aurat perempuan merdeka dan budak perempuan
ketika berada di dekat laki-laki ajnabi adalah seluruh badannya”.
Penjelasan penulis Safinatun Najah
dan Kyai Asror dari Wonosari Magelang tersebut tidaklah bisa dipraktekkan
kecuali jika para perempuan memakai niqab, burqoh atau cadar yang menutupi seluruh
badan termasuk mata. Kalau sekedar cadar yang masih menampakkan kedua mata
masih dinilai kurang sesuai dengan penjelasan di atas.
Yang sangat disayangkan mengapa
belum pernah saya jumpai saudara-saudara kita para mbah romo kyai NU yang
menerapkan aturan ini pada istrinya (baca:bu nyai) atau pada anak-anaknya.
Belum pernah juga saya jumpai warga nahdhiyyin yang menerapkan kandungan kitab
Safinatun Najah ini padahal mereka sangat sering mengkaji kitab ini.
Mengapa
realita berlainan dengan teori di kitab? Adakah belajar agama itu sekedar
wawasan bukan untuk diamalkan?
Kemudian
kitab Syarh ‘Uqud al Lajjiin fi Bayan Huquq al Jauzain karya Syaikh
Muhammad bin Umar Nawawi al Jawi adalah buku wajib santri NU yang ingin
mewujudkan keluarga sakinah dalam rumah tangganya. Di dalamnya terdapat beragam
nasihat untuk suami dan istri sehingga buku ini “wajib” dikaji
oleh santri atau santriwati yang hendak menikah.
Sebatas
pengetahuan saya penulis matan Uqud al Lajjiin yang bermakna untaian
perak adalah anonim alias tidak diketahui secara pasti.
Di
antara yang menarik di buku ini adalah bahasan tentang aurat wanita muslimah
menurut penulis matan dan pen-syarah-nya.
Di
halaman ke-3 baris ke-7 dari atas menurut cetakan dari penerbit Syarikah an Nur
Asia (tanpa dicantumkan tahun terbit dan alamat penerbit) disebutkan sebagai
berikut:
(الفصل الثاني في) بيان (حقوق الزوج) الواجبة (على الزوجة) و هي
طاعة الزوج في غير معصية وحسن المعاشرة وتسليم نفسها إليه وملازمة البيت وصيانة
نفسها من أن توطيء فراشه غيره و الاحتجاب عن رؤية أجنبي لشيء من بدنها ولو وجهها
وكفيها إذ النظر إليهما حرام ولو مع اتفاء الشهوة والفتنة …
“(Fasal kedua itu berisi) penjelasan (mengenai
hak-hak suami) yang menjadi kewajiban (istri). Hak-hak tersebut adalah:
1. mentaati suami selama tidak diperintahkan
untuk bermaksiat
2. memperlakukan suami dengan baik
3. menyerahkan dirinya kepada suami (jika suami
mengajak untuk berhubungan badan, pent)
4. Betah di rumah
5. menjaga diri jangan sampai ada laki-laki
selain suaminya berada di tempat tidur suaminya
6. berhijab sehingga tidak ada satupun
bagian tubuhnya yang terlihat oleh laki-laki ajnabi termasuk di antaranya
adalah wajah dan kedua telapak tangannya karena adalah haram hukumnya
seorang laki-laki melihat wajah dan telapak tangannya meski pandangan tersebut
tanpa diiringi syahwat dan tidak dikhawatirkan adanya pihak-pihak yang tergoda…”
Catatan:
Yang ada di dalam kurung adalah perkataan penulis matan. Sedangkan yang diluar dalam kurung adalah perkataan Syaikh Muhammad bin Umar an Nawawi al Bantani, pensyarah matan Uqud al Lajjiin.
Yang ada di dalam kurung adalah perkataan penulis matan. Sedangkan yang diluar dalam kurung adalah perkataan Syaikh Muhammad bin Umar an Nawawi al Bantani, pensyarah matan Uqud al Lajjiin.
Di halaman 17 baris ke-9 dari bawah penulis matan
berkata sebagaimana berikut ini:
(فيجب علي المرأة إذا أرادت الخروج أن تستر جميع بدنها ويديها من
أعين الناظرين)
“Wajib atas perempuan muslimah jika hendak keluar
rumah untuk menutupi semua badannya termasuk kedua telapak tangannya agar tidak
terlihat mata para laki-laki yang melihat dirinya”.
Berdasarkan dua kutipan di atas jelaslah bahwa
wajibnya seorang muslimah menutup seluruh badannya ketika bertemu lelaki ajnabi
adalah pendapat penulis matan Uqud al Lajjain sebagaimana dalam kutipan kedua,
sekaligus pendapat Syaikh Muhammad bin Umar al Jawi sebagaimana dalam kutipan
pertama.
Bahkan
di halaman 18 baris ke-9 dari bawah an Nawawi al Jawi al Bantani mengklaim
adanya ijma’ amali (kesepakatan secara praktek nyata) bahwa muslimah itu
bercadar ketika berada di luar rumah. Beliau mengatakan,
إذ لم يزل الرجال على ممر الزمان مكشوفي الوجوه والنساء يخرجن متنقبات
“Tidak henti-henti sepanjang zaman (umat Islam,
pent) bahwa laki-laki itu keluar rumah dalam keadaan tidak bercadar sedangkan kaum
wanita itu bercadar jika mereka keluar dari rumah”.
Jadi
umat Islam tidak pernah mengenal dan tidak pernah tercatat dalam sejarah umat
Islam sampai masa Syaikh Muhammad bin Umar an Nawawi al Jawi al Bantani adanya
seorang wanita muslimah yang bukan budak keluar rumah dalam keadaan wajahnya
terbuka.
Sungguh
sangat aneh jika ada kaum nahdhiyyin yang lupa bahwa bercadar bagi
wanita adalah ajaran resmi nahdhiyyin sebagaimana yang terdapat dalam
kitab-kitab dasar yang diajarkan kepada santri pemula dan orang-orang awam.
Bahkan beranggapan bahwa cadar bagi muslimah hanya sekedar budaya Arab Saudi
dan tidak ada dalam ajaran Islam. Memang benar, ilmu itu akan terjaga jika di
amalkan bukan hanya sekedar diteorikan.
Jadi apakah saya (Muhammad bin Suyud al Ghomawangiy al Jawi ) dimana saya
sering divonis sebagai seorang Wahabi yang tidak bermadzhab dan tak konsisten
dengan para ulama, berlebihan jika saya katakan muslimah NU menghianati ulama
NU. Padahal disatu sisi saya mengakui bahwa saya bermadzhab Syafii dan saya
konsisten akan madzhab syafii. Buktinya, jika ditanyakan kepada saya “ Apa
hukum bercadar?” . maka saya akan jawab
dengan gamblang ‘WAJIB”. Jadi siapa yang bermadzhab Syafii, saya seorang wahabi
atau siapa yang suka mengaku-aku bermadzhab syafii berembel NU sejati ?
Pekalongan . 07/04/2012
Maraji’
- Kifayatul AKhyar Fii Hilli Ghoyatil
Ikhtishor,Al
Husaini As Syafii.
- Fathul Qaarib, Syaikh
Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi
- Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj,
Hasyiah
Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj ,Asy-Syarwani
- Hasyiah Ibnu Qaasim ‘Ala
Tuhfatul Muhtaaj, Ibnu Qaasim Al Abadi
- Safinatun Najah
WEB:
- Ustadaris.com
akan tetapi imam syafi'i juga mengatakan wajib, kemudian pendapat kedua sunnah dan pendapat ketiga khilaful awla
BalasHapus(Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz, XLI, halaman 134).