Tahkimus Syari’ah, Kewajiban yang Dibenci Munafik
Suatu
hari dua orang mendatangi Rasulullah saw. Konon, mereka sedang
bersilang pendapat terhadap suatu perkara. Keduanya ingin Rasulullah saw
memutuskan perselisihan antar keduanya. Akhirnya Rasulullah saw
memutuskan kasus itu dimenangkan oleh salah seorang dari keduanya. Yang
kalah tidak terima, “Saya tidak rela.” Katanya. “Terus, kamu mau apa..?” Yang satu balik bertanya. Yang kalah menjawab, “Kita ke Abu Bakar, meminta keputusan dari beliau.” Lalu keduanya bertolak ke Abu Bakar, yang memenangkan kasus berkata, “Kami sudah meminta keputusan dari Rasulullah saw dan beliau memenangkan aku.” Abu Bakar menjawab, “Kalian harus menerima keputusan Rasulullah saw.” Yang kalah tidak terima, “Mari kita minta keputusan ke Umar bin Khattab.” Pintanya.
Keduanya pun bertolak ke rumah Umar. Sesampai di rumah Umar, disampaikan ke Umar keputusan Rasulullah saw dan Abu Bakar serta ketidakrelaan rivalnya terhadap keputusan tersebut. “Begitukah,” guman
Umar, lalu beliau masuk ke dalam rumahnya, tidak lama kemudian, beliau
keluar dengan membawa pedang yang terhunus. Lalu Umar memenggal kepala
orang yang tidak ridho terhadap keputusan Rasulullah saw. maka turunlah
surat an-Nisa ayat 65 yang membenarkan tindakan Umar ra. (Ibnu Katsier,
2/351-352)
Berhukum kepada hukum Allah, Syarat Sah Iman
Sekilas
apa yang tercantum dalam kisah di atas sungguh biadab. Hanya tidak mau
menerima hukum Rasulullah saw. Seseorang bisa dipenggal. Sebenarnya
permasalahannya tidak sesederhana itu, tetapi ini adalah perkara iman.
Bukti ketundukan kepada hukum Allah swt dan bukti ketaatan kepada
Rasulullah saw.
Allah swt berfirman,
فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (an-Nisa’: 59)
Menafsirkan
ayat ini, Syaik As-Sa’di rhm berkata, “Mengembalikan semua perkara
kepada hukum Allah dan RasulNya adalah syarat (sah) iman. Ini
menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak mengembalikan perkara yang
diperselisihkan kepada Allah dan RasulNya, pada hakekatnya ia tidak
beriman kepada Allah, tetapi beriman kepada thoghut” (Tafsir as-Sa’di, 1/183)
Saat
menafsirkan surat at-Taubah ayat 31 syaikh As-Syanqithi rhm berkata,
“Dari ayat ini dapat dipahami dengan gamblang, tidak ada kesamaran bahwa
siapa saja yang mengikuti syari’at setan dan mengutamakannya dari apa
yang dibawa oleh Rasulullah saw, maka dia telah kafir kepada Allah dan
menjadi abdi setan. Dia telah mengangkat setan sebagai rabbnya. Walau
dia mengistilahkan ibadahnya kepada setan itu dengan nama lain.” (Adhwa’, 1/476)
Kedudukan berhukum kepada hukum Allah swt.
a
. Dari Sisi Dien
Allah
swt telah menjelaskan dalam banyak ayat, bahwa hak untuk menetapkan
hukum dan aturan hanyak milik Allah semata. Tidak pernah diwakilkan
kepada manusia. Dan seluruh manusia diwajibkan untuk berhukum kepada
hukum Allah swt.
Allah swt berfiman,
“Keputusan
(hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu
tidak beribadah kepada selain Dia. Itulah din yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Yusuf: 40).
Ibnu
Hazm al-Andalusi rhm berkata, “Tidak ada perbedaan antara
memperbolehkan perundang-undangan, seperti; mewajibkan, atau
mengharamkan, atau membolehkan sesuati dengan akal,
padahal tidak ada nash dari Allah dan rasulNya tentang itu, dengan
membatalkan (mengingkari) aturan Allah yang disyari’atkan lewat lisan
rasulNya dengan akal. Orang yang membedakan antar keduanya adalah
berdusta. Keduanya sama-sama kafir.” (al-Ihkam, 6/31)
b
. Dari sisi tauhid rububiyah
Di antara tuntutan tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah swt dalam hukum dan tadbir (mengatur).
Tauhid rububiyah tidak akan terealisasi dengan baik kecuali dengan
mengesakan Allah dan mengakui hak Allah dalam mencipta, memerintah dan
memiliki kekuasaan tertinggi untuk membuat hukum yang tidak boleh
diganggu gugat oleh siapapun.
Allah swt berfirman, “Ingatlah, (hak) menciptakan dan memerintah hanyalah milik Allah. Maha Suci Allah, Rabb semesta alam.” (al-A’raf: 54)
Oleh
karena itu Allah swt menamakan orang yang mengikuti aturan selain yang
diturunkan olehNya dengan orang-orang yang mengangkat arbab (rabb/tuhan) selain Allah swt (nawaqidh al-iman, hlm. 298).
اتَّخَذُوا
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا
وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan
selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam,
padahal mereka hanya disuruh beribadah kepada rabb yang
Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak diibadahi) selain Dia. Maha suci Allah
dari apa yang mereka persekutukan.” (at-Taubah: 31)
c
. Dari sisi tauhid uluhiyah
Sebenarnya inti dari berhukum kepada hukum Allah swt adalah mengesakan Allah swt dalam alitho’ah (ketaatan).
Sedangkan ketaatan bagian dari tauhid uluhiyah, karena ia bagian dari
ibadah, maka tidak boleh diperuntukan kepada selain Allah swt (Q.s Yusuf:40).
Dalam ayat lain Allah swt berfirman, “Dan
Dialah Allah, tidak ada ilah (yang berhak diibadahi) melainkan Dia,
bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah (hak
menentukan) hukum dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan” (al-Qashos:70)
Di
antara tuntutan bertauhid kepada Allah swt dalam uluhiyah adalah
mengakui bahwa hak menghalalkan dan mengharamkan adalah hak Allah swt
semata. Tidak boleh diklaim dan direbut oleh siapapun. Jika mengakui,
selain Allah swt memiliki kewenangan untuk menghalalkan atau
mengharamkan berarti ia telah berbuat syirik. Sebagaimana ditegaskan Allah dalam surat at-Taubah ayat 31 di atas.
Memberikan
hak ketaatan mutlak kepada Allah swt, mentauhidkanNya dalam hukum dan
ketundukan yang penuh kepada syari’atNya merupakan inti keislaman
seseorang.
Ibnu Taimiyah rhm berkata, “Kandungan
Islam adalah ketundukan kepada Allah semata. Barangsiapa yang tunduk
kepada Allah, juga tunduk kepada selain Allah swt, maka ia musyrik.
Siapa yang tidak tunduk kepada Allah, berarti ia orang yang angkuh untuk
beribadah kepadaNya. Orang musyrik dan angkuh kepadaNya, keduanya
kafir.” (Majmu’ Fatawa, 3/91)
Syaikh asy-Syanqithi, “Mensyirikkan
Allah swt dalam berhukum dan mensyirikkan Allah swt dalam beribadah,
tidak ada bedanya sama sekali. Orang yang mengikuti aturan selain aturan
Allah dan mengikuti undang-undang selain undang-undang Allah. Ia
seperti penyembah arca dan berusujud kepada patung. Sama sekali tidak
ada perbedaan antar keduanya. Status mereka sama; sama-sama musyrik.” (Adhwa’ul Bayan, 7/162)
d
. Dari tauhid ittiba’
Maksudnya adalah merealisasikan pengakauan syahadat rasul (asyhadu anna muhammadan rasulullah), bahwa beliau adalah manusia yang wajib ditaati oleh seorang muslim. Tuntutan tauhid ittiba’
adalah menjadikan aturan rasulullah saw satu-satunya rujukan dalam
berhukum, pasrah, tunduk dan menerima secara totalitas syari’at yang
dibawa oleh beliau saw (Nawaqidh, hlm. 302).
Allah swt berfirman
فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka
demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (an-Nisa’:65)
Menafsirkan ayat ini Ibnu Katsir rhm berkata, “Allah
swt bersumpah dengan dzat dirinya yang suci nan pemurah, bahwa
seseorang tidak beriman hingga menjadikan rasul saw sebagai pemutus
perkara dalam seluruh perkara.” (Ibnu Katsir, 3/211)
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah menjelaskan ayat ini, “Allah
bersumpah dengan diriNya yang suci…bahwa makhluk (manusia dan jin)
tidak dianggap beriman, hingga menjadikan rasulNya sebagai pemutus
perkara yang mereka perselisihkan; ushul maupun furu’…bahkan berhukum
saja belum cukup menjadikan mereka orang-orang beriman hingga mereka
menerima keputusan itu dengan senang hati, tidak kecewa suka rela.
Bahkan, mereka tidak beriman hingga mereka menerima hukum tadi dengan
penuh kerelaan, tunduk dan pasrah terhadap keputusannya, serta tidak
menggugatnya sama sekali.” (at-Tibyan, hlm. 270)
Jika
rasulullah saw telah meninggal maka keputusan dan hukum harus
dikembalikan kepada syari’at yang beliau bawa (Tafsir As-Sa’di, hlm.
183).
Munafik Berhukum Kepada Thoghut
Ada
sebagian kelompok manusia yang mengklaim sebagai orang-orang beriman,
mempermainkan Allah dalam masalah hukum. Mereka bukannya berhukum kepada
hukum Allah tetapi justru berhukum kepada thoghut. Mereka ini adalah
para munafikin.
Allah swt berfirman
“Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan
sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka
telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (an-nisa’: 65)
Dalam tafsirnya, almanar, Muhammad Rasyid ridho berkata, “Ayat
ini menegaskan bahwa siapapun yang menghalangi dan berpaling dari hukum
Allah dan rasulNya dengan sengaja, apalagi setelah ia diingatkan dan
dijelaskan tentang, maka sungguh ia orang munafik. Klaim keimanannya
tidak dianggap. Pengakuan islamnya pun hanya sekedar klaim (dusta).” (Tafsir al-Manar, 5/227)
Maksud berhukum kepada thoghut dalam ayat ini
adalah berhukum kepada selain syari’at Islam, yang diundangkan dan
ditetapkan secara bathil. Bertentangan dengan syari’at Allah swt. Bisa
berupa adat istiadat, budaya atau undang-undang negara.
Ibnu katsir rhm, berkata, “Sungguh
ayat ini –annisa’:65- mencela setiap orang yang berpaling dari (hukum
yang ada dalam) kitab Allah dan Sunnah rasulullah saw, sebagai gantinya,
ia berhukum kepada selain keduannya, yang bersumber dari sesuatu yang
bathil. Inilah yang dimaksud dengan thoghut dalam ayat ini.” (Ibnu Katsir, 2/346)
Pemaparan
para ulama diatas cukup gamblang; siapa saja yang berhukum kepada
selain syari’at Islam maka ia berhukum kepada thoghut. Dan hukum thoghut
adalah segala hukum yang menyelisihi syari’at Allah. Wallahu a’lam bish showab.* (Mas’ud)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar