SALAFI : Salaf Setengah Hati
Tidak bisa dipungkiri, untuk mendapatkan kemurnian Dinul Islam, haruslah mengikuti pemahaman salafus shalih. Hal ini sungguh sudah sangat di maklumi. Dan tidak perlu pula berhujan ayat bergerimis hadits dalam mendukung keyakinan ini. Namun metode “mundur” kebelakang itu bukan berarti menghambat langkah maju Ummat Islam untuk menyongsong masa depan dengan kehidupan yang tarus bergelombang, beragam, dan berubah.
Siapa salafus sholih..? Banyak ungkapan para ulama dalam mendefinisikan maksud dari “salafush sholih”. Ringkasnya, ada dua dimensi pokok dalam istilah ini: zaman (waktu) dan manhaj (metode).
a) Zaman, maksudnya salafush sholih dinisbatkan kepada pada pendahulu umat ini yang hidup pada tiga generasi pertama: sahabat,tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
b) Manhaj, maksudnya metode yang digunakan oleh tiga generasi pendahulu di atas dalam memahami dan memperjuangkan Islam. Jadi. Siapapun orangnya, kapanpun, di manapun dia berada, jika dia seorang muslim,lalu meneladani tiga generasi awal itu dalam konsep akhlak, metode memahami dan memperjuangkan dien ini, maka ia termasuk dalam sebutan salafush sholih. (Al-Madkhal, Dr. Buraikan)
Banyak ayat dan hadits yang mengharuskan seorang muslim untuk memehami dan memperjuangkan dien ini sesuai pemahaman dan metode perjuangan para ulama pendahulu umat ini, atau yang lebih familiar di kalangan aktifis dengan istilah salaf sholih. Salah satunya sabda Rasululloh,
“jagalah aku (dienku ) lewat sahabatku, kemudian lewat orang-orang sesudahnya(tabi’in) kemudian lewat orang-orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in). Setelah itu akan tersebar kedustaan.” (HR. Ibnu Majah –shohih-)
Hukum menamakan diri dengan “Salafi” atau “al-Atsari”
Pada tataran tertentu, menurut sebagian ulama, menamakan diri dengan istilah as-salafi atau al-atsari tidak menjadi masalah. Karena ini sebagai upaya untuk meneladani generasi yang terbaik dari umat ini.
Namun sebagian ulama kurang menyenangi penyebutan ini. Bukan karena mereka membenci usaha untuk meneladani generasi salaf, tapi karena kehati-hatian dan adanya kasus-kasus penyimpangan akhlak dan akhidah dari sebagian mereka yang menamakan dirinya sebagai salafi. Syaikh Utsaimin, misalnya mengatakan,
“Tidak ragu lagi, bahwa wajib atas seluruh kaum muslimin menjadikan mahzab mereka adalah madzhab salaf, bukan untuk ber-intima` (berkomitmen) pada kelompok tertentu yang dinamakan salaffiyun. Waji b bagi umat islam menjadikan madzhab salafus sholih, bukan bertahazzub (berkelompok) kepada apa-apa yang dinamakan salaffiyun. Maka, ada tharriq (jalan/ metode) as-salaf (umat terdahulu), dan ada juga hizb (kelompok) yang dinamakan salaffiyun, padahal yang dituntut adalahittiba’ (mengikuti) salaf (umat terdahulu).” (Syarah al-Arba’iin an-Nawawiyah. Hadits ke-28) Denikian juga syaikh Sholih al-Fauzan, tidak menyukai penamaan ini (Iih. Beda Salaf dengan Salafi, hal.141)
Berikut catatan untuk salafi, yang kian hari kian meresahkan masyarakat dan menjadi benalu dalam penegakan Islam:
a. Dalam masalah Iman dan Kufur
Ali Hasan al-Hallaby, seorang da’I panutan salafi yang sering bertandang ke Indonesia dan telah dicap pendusta oleh banyak ulama dan gemar nenbajak serta merubah pernyataan para ulama sebagai mana dinyatakan oleh Dewan Fatwa Lajnah Ad-Daimah, dalam fatwa no. 21517 mengatakan bahwa kufur hanya ada dua: juhud (pengingkaran) dan kidzb (pendustaan) (Iih. Pengantarnya di attahdzir min fitnati takfir.)
Konsekuensinya, setiap pelanggaran terhadap syariat Allah, termasuk mencela Rasul atau melecehkan al-Quran, pelakunya tidak bias dikafirkan, karena ia tidak mendustakan Allah, atau rasul.
Pembagian kufur ini, jelas merupakan aqidah murjiah, sebagaimana dinyatakan oleh Lajnah Ad-Da’imah dalam fatwa bernomor 21517. (Iih. At-tahdzir minal irja’. Hal. 26)
Bandingkan dengan pernyataan dengan pernyataan Syikh Muhammad bin Abdul Wahhab, “ Adapun kufur amal, di antaranya ada yang bertentangan dengan iman, seperti: sujud kepada patung, menghina Al-Qur’an dan membunuh Nabi SAW serta mencelanya….” (Ad-Durar, 1/480)
b. Berhukum kepada hukum Allah SWT
Suatu hal yang menjadi kebiasaan para da’I salafy adalah kerap kali mereka meremehkan masalah berhukum kepada apa yang diturunkan oleh Allah SWT. Bahkan, dengan sadis mereka melabeli setiap da’i yang mengangkat tema “berhukum kepada syariat islam” sebagai khowarij yang halal ditumpahkan darahnya. Mereka menuduh, orang yang mengatakan berhukum kepada selain hokum Alloh SWT sebagai bughot dan khowarij.
Bandingkan pendapat mereka dengan pendapat para ulama tentang berhukum kepada selain hukum Allah SWT:
1) Ibnu Taimiyah berkata, “ketika seseorang menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh ijma’ atau mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh ijma’,atau mengganti syari’at yang telah ditetapkan secara ijma’ maka dia kafir dan murtad berdasarkan ijma’. ”.(Majmu’ Fatawa, jilid III/ 267) Realitanya, sudah berapa banyak syari’at Islam yang digantikan posisinya oleh undang-undang sekuler.
2) Ibnul Qoyyim berkata, “setiap orang yang berhukum atau menghukumi dengan selain hokum yang dibawa Rasulullah SAW, berarti dia telah menegakkan hokum thoghut dan telah berhukum kepada thoghut. “(I’lamul Muwaqqi’in,1/53)
3) Syaikh asy-Syanqiti berkata, “…lewat nash-nash yang telah kami sebutkan tadi, maka jelas sudah bahwa setiap orang yang mengikuti undang-undang positif yang diwahyukan oleh setan lewat lisan para walinya dari kalangan manusia yang menyelisihi syari’at Allah yang diwahyukan lewat lisan para Rasul-Nya, maka tidak diragukan lagi kekafiran dan kesirikan mereka. Yang ragu hanyalah orang-orang yang telah Allah butakan matanya dari cahaya wahyu…dan menerapkan undang-undang dalam kehidupan adalah kakafiran…”(Adhwa’ul Bayan, 4/83-84)
4) Imam Ibnu katsir menukil ijma’ atas kekafiran setiap orang yang menerapkan undang-undang yang menyelisihi syari’at Islam (Iih. Al Bidayah wa an-Nihayah 13/119). Mufti dan ahli hadits Mesir, Syaikh Ahmad Syakir berkata, “Permasalahan yang harus dipastikan, bahwa (penerapan) undang-undang positif merupakankufrub bawwah -kekafiran nyata-. Kekafirannya sejelas matahari di siang disiang bolong”. (Umdatut Tafsir, 2/127)
C. Mengkritik Penguasa dan Khowarij
Satu lagi, sudah menjadi cirri khas “salafi” untuk mendaulat siapapun yang mengkritik penguasa sekuler dan menjelaskan kerusakan sistemnegara sekuler dengan gelar khowarij. Menurut mereka, siapapun yang menentang pemerintah, entah bagaimanapun rusak dan kufurnya system yang dijalankan, adalah seorang khowarij. Tanpa melihat alas an orang yang mengkritik (melawan) dan tanpa meneliti keadaan pemerintah sekuler.
Betulkah demikian sikap salafus sholih..? Tentu tidak. Sejarah mencatat Mu’awiyah mengkritik bahkan berperang melawan Ali bin Abi Thalib, Sebagai penguasa yang sah saat itu. Demikian Ibunda ‘A’isyah mengkritik bahkan mengangkat senjata melawan melawan Ali. Terlepas dari sebab musababnya atau pihak mana yang salah, yang jelas para ulama tidak pernah melabeli Mu’awiyah dan ‘A’isyah sebagai khowarij.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berperang melawan penguasa Turki. Tapi, tidak satupun ulama yang “mengecap” beliau sebagai khowarij, apalagi bughot. Demikian juga, pada tahun 83 H, sebanyak 100.000 penduduk bashrah dan kufah berkumpul melawan khalifah Abdul Malik dan panglimanya, Hajjaj. Beberapa ulama turut serta dalam perlawanan ini, tidak ada ulama yang menuduh 100.000 penduduk bashrah dan ulama-ulama diatas sebagai khowarij. Jika “salafi” ingin mencatat mereka sebagai khowarij, silakan! Tapi kemukakan dulu alasannya.
D. Pemahaman Negara Kafir dan Negara Islam
Menurut mereka, dasar menghukumi sebuah Negara adalah syar’I, bukan hokum yang berlaku. Maka, Negara manapun yang Nampak syi’ar-syi’ar Islam di sana, maka itu Negara Islam, pemimpinnya adalah amirul mu’minin. Indah nian pendapat ini. Bisa-bisa negara kafir barat menjadi Negara Islam. Karena adzan berkumandang disana, sholat jum’at dan syi’ar-syi’ar Islam lainnya juga hidup disana. Mungkin sampai disini bisa dimaklumi. Hanya saja sangat membingungkan, ketika ada yang mengatakan bahwa dasar menghukumi Negara adalah kewenangan hokum yang berlaku, jika yang berlaku adalah hukum Islam maka itu negara Islam,jika tidak bukan Negara Islam, para “salafiyin” buru-buru menuduh “khowarij” atau ahli bid’ah. Padahal, mayoritas ulama mengatakan, dasar untuk menghukumi sebuah Negara Islam atau Negara kafir adalah hu
kum yang berlaku.
1) Ibnu Qoyim berkata, “Mayoritas Ulama mengatakan bahwa Daarul Islam adalah Negara yang dikuasai oleh umat Islam dan hokum-hukum Islam diberlakukan di negara tersebut. Bila hukum-hukum Islam tidak diberlakukan, Negara tersebut bukanlah Daarul Islam, Contohnya adalah Thaif tidak berubah menjadi Daarul Islam.” (Ahkamu Ahli Dzimah, 1/366)
2) Asy-Syaukani berkata, “Dasar dalam menghukumi Negara (kafir/ Islam) adalah zhuhur kalimah (hukum yang diterapkan): jika kekuasaan memerintah dan melarang dalam sebuah negeri di bawah kendali orang-orang Islam, dimana orang-orang kafir tidak bias menampakkan (mempertunjukkan) kekafirannya kecuali atas izin kaum muslimin, maka Negara tersebut adalah Negara Islam. Adanya tanda-tanda (symbol) kekafiran didalam negeri ini tidak mempengaruhi penamaannya sebagai Negara Islam, karena keberadaan simbol-simbol tersebut bukan karena dimunculkan oleh kekuatan mereka(tapi atas izin kaum muslimin).
Seperti yang kita disaksikan hari ini dari kalangan kaum ahli dzimmah; Yahudi, Nasrani dan orang-orang kafir harbiyang terikat perjanjian damai (dengan kaum muslimin) yang tinggal di beberapa Negeri Islam. Sebaliknya, jika keadaan sebuah Negara tidak seperti di atas (tidak dikuasai oleh hukum Islam) maka setatusnya adalah sebaliknya (ia Negara Kafir).” (As-Sail al-Jarrot, 4/575)
Akhir kata, dari pemaparan sinkat diatas, umat akan bias menilai, siapa pengemban dakwah salaf sholih sejati, dan siapa salafi imitasi. Wallahu A’lam bis showab. (Izzul)
An-Najah Edisi_58/Rajab 1431 H/ Juli 2010 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar