Syubhat Pemerintah. 1
”Maka
perangilah orang-orang musyrik di manapun kalian menemukan mereka.” [QS. At
Taubah: 5].
”Maka perangilah pemimpin-pemimpin kekafiran
karena sesungguhnya mereka tidak ada perjanjian lagi (dengan kalian) supaya
mereka mau berhenti.” [Qs. At Taubah: 12].
Jika ayat-ayat ini dan ayat lainnya
memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir, sedangkan para penguasa adalah
kafir, maka bagaimana keluar dari mereka dan memerangi mereka hukumnya sama
sekali tidak disyariatkan?
Sebagaimana dalam hadits Ubadah bin
Shamit, ”Nabi mendakwahi kami, maka kami membaiat beliau. Di antara baiat yang
beliau ambil dari kami, adalah kami membaiat beliau untuk mendengar dan ta’at
baik dalam keadaan sukarela maupun terpaksa, saat senang maupun susah dan atas
penguasa yang mendahulukan kepentingannya atas kami (rakyat) dan janganlah
kalian merebut urusan (kepemimpinan) dari orang yang memegangnya kecuali jika
kalian melihat kufur yang jelas-jelas, di mana kalian mempunyai dalilnya dari
sisi Allah”. [HR. Bukhari 7055-7056, Muslim 170 kitabul Iman hadits ke 22].
1. Hadits Ummu
Salamah secara marfu’, ”Akan ada para umara’ yang kalian ketahui lalu kalian
ingkari. Maka barang siapa mengetahui maka ia telah berlepas diri, barang siapa
mengingkari maka ia telah selamat, akan tetapi (yang tidak selamat adalah)
orang yang ridha dan mengikuti. “Mereka bertanya, ”Apakah tidak kami perangi
saja mereka itu? ”Beliau menjawab,”Tidak, selama mereka masih sholat”. [Muslim
1853, Abu Daud 4760, Tirmidzi 2665, Ahmad VI/302, 305, 321].
2. Hadits Auf bin Malik, Ditanyakan, ”Ya
Rasulullah, bolehkah kami melawan mereka dengan pedang? ”Beliau menjawab,
”Jangan, selama mereka masih menegakkan sholat di antara kalian”. [Muslim 1855,
Ahmad VI/24, Darimi II/324].
hadis 1 dan 2 telah dikecualikan oleh hadis
Ubadah bin Shamit di atas.
(a). Al Hafidz dalam Fathul Bari
XIII/124 telah menukil perkataan Ibnu Tien, ”Para ulama telah ijma’
(bersepakat) bahwasanya jika khalifah mengajak kepada kekafiran atau bid’ah
maka ia dilawan. Para ulama berbeda pendapat kalau khalifah merampas harta,
menumpahkan darah dan melanggar kehormatan; apakah dilawan atau tidak?. ”Ibnu
Hajar berkata, ”Pernyataan beliau tentang adanya ijma’ ulama mengenai hukum
melawan imam jika ia mengajak kepada bid’ah ini tertolak, kecuali jika
maksudnya adalah bid’ah yang jelas-jelas membawa kepada kekafiran yang nyata.”
(b). Al Hafidz dalam Fathul Bari
XIII/132 juga menyatakan, ”Kesimpulannya seorang khalifah dipecat berdasar
ijma’ kalau ia telah kafir. Maka wajib bagi setiap muslim melakukannya. Siapa
kuat melaksanakannya maka baginya pahala, siapa yang berkompromi baginya dosa,
sedang yang tidak mampu (lemah) wajib hijrah dari bumi tersebut.”
(c). Juga dalam Fathul Bari XIII/11
disebutkan, ”Sebagian ulama menyatakan sejak awal tidak boleh mengangkat
seorang fasik sebagai khalifah. Jika ternyata kemudian ia berbuat dzalim
setelah sebelumnya memerintah dengan adil, para ulama berbeda pendapat tentang
hukum keluar darinya. Pendapat yang benar adalah tidak boleh kecuali jika ia
telah kafir, maka wajib keluar darinya.”
(d). Imam Nawawi menukil dalam
Syarhu Shahih Muslim XII/229 dari qodhi Iyadh, ”Jika terjadi kekafiran atau
merubah syariat atau bid’ah, ia telah keluar dari kedudukannya sebagai penguasa
maka gugurlah kewajiban taat kepadanya dan wajib atas umat Islam untuk melawan
dan menjatuhkannya serta mengangkat imam yang adil kalau hal itu memungkinkan.
Jika tidak mampu melaksanakannya kecuali sekelompok orang maka wajib atas
kelompok tersebut melawan dan menjatuhkan imam tersebut. Adapun imam yang
mubtadi’ (berbuat bid’ah) tidak wajib menjatuhkannya kecuali jika mereka
memperkirakan mampu melakukan hal itu…”
(e). Imam Ibnu Katsir setelah
menyebutkan Ilyasiq yang ditetapkan oleh Jengish Khan, beliau berkata,
”Undang-undang ini bagi anak keturunannya akhirnya menjadi sebuah
perundang-undangan yang diikuti. Mereka mendahulukannya atas berhukum dengan Kitabullah
dan Sunnah Rasulullah. Siapa saja di antara mereka melakukan hal ini maka ia
telah kafir, wajib diperangi sampai kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya,
sehingga tidak diberlakukan hukum selain hukum Allah dan Rasul-Nya, baik dalam
masalah yang sedikit maupun banyak.” [Tafsir Al Qur’anil ‘Adzim II/68].
(f). Imam Asy Syaukani setelah
berbicara tentang orang yang berhukum kepada selain syariat Allah, beliau
berkata, ”Jihad melawan mereka itu wajib dan memerangi mereka itu sebuah
keharusan sampai mereka menerima hukum-hukum Islam, tunduk kepadanya dan
menghukumi di antara mereka dengan syariah muthaharah dan keluar dari seluruh
thaghut-thaghut syaitaniyah yang mereka ikuti.” [Ad Dawa-ul ‘Ajil Fi Daf’il
‘Aduwwi al Shoil hal. 25].
(g). Imam Ibnu Abdil Barr dalam Al
Kafi (I/463) mengatakan, ”Al Umari al ‘abid —yaitu Abdullah bin Abdul Aziz bin
Abdullah bin Abdullah bin Umar bin Khathab— bertanya kepada imam Malik bin
Anas, ”Wahai Abu Abdillah, bolehkah kita tidak terlibat dalam memerangi orang
yang keluar dari hukum-hukum Allah dan berhukum dengan selain hukum-Nya?” Imam
Malik menjawab, ”Urusan ini tergantung kepada jumlah banyak atau sedikit. ”Imam
Abu Umar Ibnu Abdil Barr berkata, ”Jawaban Imam Malik ini sekalipun berkenaan
dengan jihad melawan orang-orang non musyrik, namun juga mencakup orang-orang
musyrik dan mencakup amar makruf nahi mungkar. Seakan-akan beliau berkata siapa
mengetahui bahwa jika ia melawan musuh, musuh akan membunuhnya sedang ia tidak
menimpakan kehinaan sedikitpun pada diri musuh, maka ia boleh meninggalkan
memerangi mereka dan bergabung dengan sekelompok kaum muslimin yang lain…”.
Pernyataan-pernyataan lugas dari para ulama
yang menyatakan adanya ijma’ keluar dari ketaatan kepada penguasa jika ia telah
kafir ini
(h) Ibnu Rajab Al Hambali dalam
Jamiul Ulum wal Hikam hal. 73 berkata, ”Jika telah masuk Islam, lalu
melaksanakan sholat dan zakat serta menjalankan syariat-syariat Islam, maka ia
mempunyai hak yang sama dengan hak seorang muslim lainnya dan ia mempunyai
kewajiban sebagaimana kewajiban muslim lainnya. Jika meninggalkan salah satu
dari rukun-rukun, jika mereka sebuah kelompok maka mereka diperangi…”
Di antaranya adalah perkataan beliau
ketika ditanya tentang memerangi bangsa Tartar, “Setiap kelompok yang menolak
untuk komitmen dengan sebuah syariah dari syariah Islam yang dhahir mutawatir
seperti kaum tersebut (Tartar) dan selainnya, maka wajib hukumnya memerangi
mereka sampai mereka kembali komitmen dengan syariat-syariat Islam, sekalipun
mereka masih mengucapkan syahadat dan komitmen dengan sebagian syariat Islam.”
“Sebagaimana Abu Bakar dan para
shahabat memerangi kaum yang menolak membayar zakat. Ini telah menjadi
kesepakatan para ulama setelah mereka setelah terjadinya dialog antara Abu
Bakar dengan Umar. Maka para shahabat telah bersepakat untuk berperang demi
menjaga hak-hak Islam, sebagai pengamalan Al Qur’an dan As Sunah. Demikian juga
telah tetap dari Rasulullah sepuluh sanad: hadits tentang Khawarij. Beliau
memberitahukan bahwa Khawarij adalah seburuk-buruk makhluk, sekalipun beliau
menyebutkan,” Sholat kalian akan remeh bila dibandingkan sholat mereka, dan
shaum kalian akan remeh bila dibandingkan shaum mereka.”
Dengan ini diketahui bahwa sekedar
berpegang teguh dengan Islam tanpa disertai komitmen kepada syariat-syariatnya
tidak menggugurkan dari sikap memerangi mereka. Perang wajib ditegakkan sampai
seluruh dien menjadi hak Allah, dan sampai fitnah tidak ada lagi. Kapan saja
dien itu untuk selain Allah maka perang hukumnya wajib. Maka kelompok mana saja
menolak mengerjakan sebagian shalat yang wajib, atau shaum atau haji atau untuk
komitmen dengan pengharaman darah, harta, khamar dan judi atau menikahi
perempuan mahramnya atau menolak untuk komitmen dengan jihad melawan
orang-orang kafir atau mengambil jizyah dari ahlu kitab dan kewajiban serta
larangan dien lainnya —di mana tak ada udzur pada seorangpun untuk
mengingkarinya dan meninggalkannya, bahkan orang yang mengingkarinya telah
kafir— maka kelompok yang menolak ini diperangi sekalipun masih mengakui
syariat ini. Ini adalah sesuatu perkara yang aku tidak mengetahui adanya
perbedaan pendapat di kalangan ulama.” [Majmu’ Fatawa XXVIII/502-503].
"Seandainya kalian dipimpin
oleh seorang budak yang memimpin kalian berdasarkan Kitabullah, maka patuhi dan
taatilah.”Dalam riwayat lain dituturkan;"Wahai umat manusia, bertakwalah
kepada Allah, meski kalian dipimpin oleh seorang budak Ethiopia yang tidak
karuan rupa (buruk rupa)-nya, maka patuhi dan taatilah, selama masih menegakkan
Kitabullah di tengah-tengah kalian."HR. Ahmad (IV/126,127, Abu Dawud (no.
4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Darimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus
Sunnah (I/205) dan al-Hakim (I/95-96), dari Sahabat ‘Irbadh bin Sariyah
Radhiyallahu 'anhu. Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lafazh
ini milik al-Hakim.
"Artinya : Tidak (boleh) taat
(terhadap perintah) yang di dalamnya terdapat maksiyat kepada Allah,
sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan” [HR. Al-Bukhari (no. 4340,
7257), Muslim (no. 1840), Abu Dawud (no. 2625), an-Nasa'i (VII/159-160), Ahmad
(I/94), dari Sahabat ‘Ali Radhiyallahu 'anhu.]
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”. (An
Nisa: 59)
“Hai orang-orang yang beriman…”, ini adalah
khithab (seruan) terhadap orang-orang yang beriman. “…taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”, ulil amri
adalah ulil amri dari kalangan kalian, yaitu pemimpin muslim atau pemimpin yang
mukmin, itu adalah pengertian sederhananya.
Jadi, pemimpin yang harus ditaati -tentunya
selain dalam maksiat- adalah pemimpin muslim, karena Allah mengatakan “min kum”
(dari kalangan kalian) setelah mengkhithabi “hai orang-orang yang beriman”.
Orang yang beriman atau orang muslim
yang berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma adalah orang yang beriman kepada
Allah dan kafir kepada thaghut, berikut ini adalah penjabarannya:
Firman
Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Al Baqarah: 256:“Barangsiapa kafir kepada
thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia telah berpegang teguh pada al ‘urwah
al wutsqa”.
Setelah memahami hal ini, maka kita bisa
menyimpulkan bahwa TIDAK BENAR ketika orang memerintahkan kaum muslimin untuk
loyal kepada pemerintah semacam ini dengan menggunakan dalil surat An Nisa: 59,
karena ulil amri dalam ayat tersebut adalah “dari kalangan kalian” yang berarti
dari kalangan orang-orang yang beriman, sedangkan pemerintahan NKRI ini sudah
kita ketahui bahwa mereka BUKAN orang-orang yang beriman, akan tetapi justeru
mereka adalah adalah thaghut, orang musyrik, orang-orang kafir, orang-orang
murtad. Jadi, jelaslah tidak sesuai dengan pemerintah ini.
Sabab
an-Nuzûl*
Diriwayatkan al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
al-Tirmidzi, al-Nasa’i, IbnuJarir, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, al-Baihaqi
dalam *Ad-Dalâil* dari jalurSaid bin Jubair dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini
turun berkenaan denganAbdullah bin Hudzafah bin Qais bin ’Adi, ketika dia
diutus Rasulullah saw.dalam sebuah *sariyah *(perang).1
*Tafsir Ayat *
Allah Swt. berfirman: *Yâ ayyuhâ al-ladzîna
âmanû athî‘û Allâh wa athî’ûar-Rasûl wa ulî al-amri minkum. Khithâb* ayat ini
ditujukan kepada seluruhkaum Mukmin. *Pertama*: perintah untuk menaati Allah
Swt., yakni menjalankanperintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.2 Kata
*ath-thâ’ah *berarti *al-inqiyâd*(ketundukan).3 Maksud menaati Allah Swt. di
sini adalah mengikuti al-Quran.
*Kedua*: perintah menaati Rasulullah saw.
Rasulullah saw. diutus denganmembawa risalah dari Allah Swt. yang wajib di
taati. Karena itu, menaatiRasulullah saw. sama dengan menaati Zat Yang
mengutusnya, Allah Swt. (lihatQS an-Nisa’ [4]: 64, 80).
Kendati menaati Rasulullah saw.
paralel dengan menaati Allah Swt., dalamayat ini kedua-duanya disebutkan. Hal
itu menunjukkan perbedaan obyek yangditunjuk. Menaati Allah Swt. menunjuk pada
Kitabullah; menaati Rasulullahsaw. menunjuk pada as-Sunnah. Keduanya—meskipun
sama-sama wahyu dari AllahSwt. yang wajib ditaati—berbeda. Al-Quran lafalnya
dari Allah Swt.; as-Sunnahlafalnya dari Rasulullah saw. sendiri.
*Ketiga*: perintah menaati ulil amri. Para
mufassir berbeda pendapatmengenai makna istilah tersebut. Oleh sebagian
mufassir, ulil amri dimaknaisebagai *ulamâ’*. Jabir bin Abdullah, Ibnu Abbas
dalam suatu riwayat,al-Hasan, Atha’ dan Mujahid termasuk yang berpendapat
demikian. Merekamenyatakan, ulil amri adalah ahli fikih dan ilmu.4
Pendapat lain menyatakan, ulil amri
adalah *umarâ’ *atau *khulafâ’*. MenurutIbnu ’Athiyah dan al-Qurthubi, ini
merupakan pendapat jumhur ulama.5 Diantara yang berpendapat demikian adalah
Ibnu Abbas dalam suatu riwayat, AbuHurairah, as-Sudi, dan Ibnu Zaid;6 juga
ath-Thabari, al-Qurthubi,az-Zamakhsyari, al-Alusi, asy-Syaukani, al-Baidhawi,
dan al-Ajili.7* *SaidHawa juga menyatakan, ulil amri adalah khalifah; yang
kepemimpinannyaterpancar dari syura kaum Muslim; urgensinya untuk menegakkan
al-Kitab danas-Sunnah. Kaum Muslim wajib menaatinya beserta para amilnya dalam
hal yangmakruf.8
Tampaknya pendapat jumhur lebih
dapat diterima. Dari segi sabab nuzulnya,ayat ini turun berkenaan dengan
komandan pasukan. Ini berarti, topik yangmenjadi obyek pembahasan ayat ini
tidak terlepas dari masalah kepemimpinan.Telah maklum, pemimpin tertinggi kaum
Muslim adalah khalifah. Dialah AmirulMukminin yang memiliki kewenangan untuk
mengangkat para pemimpin dibawahnya, termasuk panglima perang dan komandan
pasukan.
Kata *minkum *memberikan batasan
bahwa ulil amri itu harus *minal-Muslimîn*(dari kalangan Muslim). Jika bukan
Muslim maka tidak adahak wilayah baginyaatas Muslim dan tidak ada ketaaan
kepadanya.11 Ayat ini juga bisa menjadidalil bahwa khalifah haruslah seorang
Muslim. Kesimpulan itu makin kukuhtatkala dalam al-Quran tidak didapati kata
*ulil amri *kecuali disertaidengan penjelasan bahwa mereka dari kalangan kaum
Muslim.12 * *
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: *fa in
tanâza‘tum fî syay’[in] faruddûhuilâ Allâh wa ar-Rasûl*. Kata *tanâzu‘ *
berarti mencabut hujjah lawannya danmenyikirkannya.13 Kata ini untuk menggambarkan
adanya perselisihan danperdebatan yang terjadi antara dua pihak atau lebih.
Kata *syay’[in] *(sesuatu)* *meliputi semua urusan, baik urusan *ad-dîn
*maupun* *dunia.Namun, ketika dilanjutkan, *faruddûhu ila Allâh wa ar-Rasûl*,
maka kalimatitu menjelaskan bahwa sesuatu yang diperselisihkan itu adalah
urusan *ad-dîn*.14
Kata *tanâza’tum *berarti kalian
berselisih, baik yang terjadi di antarakalian atau antara kalian dengan umara
kalian.15 Jika hal itu terjadi,mereka diperintahkan mengembalikan perkara yang
mereka perselisihkan itukepada Allah dan Rasul, yakni pada al-Kitab dan
as-Sunnah. Demikianpenafsiran para mufassir, seperti Mujahid, Qatadah, Maimun
bin Mahran, danas-Sudi;16 juga an-Nasafi, Ibnu Katsir, al-Khazin, asy-Syaukani,
Ibnu Juzyial-Kalbi, al-Wahidi, al-Jazairi, as-Samarqandi, dan al-Sa’di.17
Kemudian
Allah Swt. berfirman: *in kuntum tu’minûna bi Allâh wa al-yawmial-âkhir*.
Mengomentari kalimat ini, as-Sa’di berkata, *“Hal itu menunjukkanbahwa orang
yang tidak mengembalikan masalah yang diperselisishkan kepadakeduanya (al-Quran
dan as-Sunnah) pada hakikatnya bukanlah seorang Mukmin,namun beriman kepada
thâghût, sebagaimana disampaikan dalam ayat selanjutnya*.”18
Hal senada juga dinyatakan oleh Ibnu
Katsir.19* *
Ayat ini kemudian diakhiri dengan firman-Nya:
*Dzâlika khayru wa ahsanuta’wîl[an]. *Kata *Dzâlika *menunjuk pada tindakan
mengembalikan perkarapada al-Kitab dan as-Sunnah.20 Qatadah menyatakan, maksud
farasa ini adalah:*ahsanu tsawâb[an] wa khayru âqibat[an]* (sebaik-baik pahala
danseutama-utama akibat).21
*Kontradiksi dengan Demokrasi*
Sebagaimana telah dijelaskan, ayat
ini menjadi dalil bagi kewajiban untukmengangkat ulil amri atau pemimpin yang
berwenang mengatur urusan kaumMuslim. Ayat ini juga memberikan penjelasan
mengenai pilar-pilarpemerintahan Islam. Berkenaan dengan masalah kedaulatan,
ayat ini memberikankonsep amat jelas, bahwa kedaulatan dalam pemerintahan Islam
(yang dikenaldengan sebutan Khilafah) ada di tangan syariah. Di antara beberapa
buktinyaadalah:
*Pertama*, perintah untuk menaati Allah Swt.
dan Rasulullah saw, yaknitunduk dan patuh pada segala ketentuan dalam al-Quran
dan as-Sunnah.Ketetapan ini meniscayakan, semua hukum dan undang-undang yang
diberlakukanwajib bersumber dari keduanya. Memang benar, selain diperintahkan
taatkepada Allah Swt dan Rasul-Nya, kaum Muslim juga diperintahkan taat
kepadauli al-amri. Namun, ketaatan itu bukan tanpa batasan sama sekali.
Kewajibantaat itu berlaku jika perkara yang diperintahkan ulil amri
bersesuaiandengan hukum syariah. Jika perkara yang diperintahkan menabrak
syariah, kaumMuslim tidak boleh taat.
Lebih dari itu, ulil amri juga menjadi pihak
yang wajib tunduk pada syariah.Sebab, mereka termasuk yang diseru ayat ini.
Ungkapan *minkum *pada kata *waulî al-amri minkum *menunjukkan bahwa mereka
juga termasuk dalambagian *al-ladzînaâmanû. *Karena itu, mereka pun wajib
menaati Allah Swt. Bahkan kedudukanmereka sebagai ulil amri adalah dalam rangka
menjalankan ketaatan kepadaAllah Swt. dan Rasul-Nya (syariah).
*Kedua*, ayat ini menetapkan, setiap
perselisihan yang terjadi wajibdikembalikan pada syariah. Firman Allah Swt.,
*Fa in tanâza’tum fî syay’[in]faruddûhu ila Allâh wa ar-Rasûl*, jelas
menunjukkan makna demikian.
_______________
Catatan
kaki:*
1 As-Suyuthi, *Ad-Durr
al-Mantsûr, *vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutubal-Ilmiyyah, 1990), 314.
2 As-Qurthubi, *Al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur’ân,*vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutubal-Ilmiyyah, 1993),* *167; as-Syaukani,
*Fath al-Qadîr, *vol. 2, 608.
3 Al-Khazin, *Lubâb at-Ta’wîl fî
Ma’ânî at-Tanzîl,*vol. 1 (Beirut: Daral-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 392.
4 Al-Jashshash, *Ahkâm al-Qur’âm,
*vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993),298.
5 Ibnu ‘Athiyyah, *Al-Muharrar
al-Wajîz, *vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutubal-Ilmiyyah, 1993), 70; Ibnu Jauzyi
al-Kalbi, *al-Tashîl li ‘Ulûm al-Qur’ân,*vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1995), 196. * *
6 Abu Hayyan al-Andalusi,
*Al-Bahr al-Muhîth, *vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutubal-Ilmiyyah, 1993), 290.
7 Ath-Thabari, *Jâmi’ al-Bayân fî
Ta’wîl al-Qur’ân, *vol. 4 (Beirut:Dar al-Kutubal-Ilmiyyah, 1992), 153;
al-Qurthubi, *al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,*vol. 3,**168; az-Zamakhsyari,
*Al-Kasysyâf, *vol 1 (Beirut: Dar al-Kutubal-Ilmiyyah, 1995), 513; al-Alusi, *Rûh
al-Ma’ânî,* vol. 3 (Beirut:Dar al-Kutubal-Ilmiyyah, 1999),* *63; asy-Syaukani,
*Fath al-Qadîr, *vol. 2 (Beirut: Daral-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 608;
al-Baidhawi, *Anwâr at-Tanzîl wa Asrâral-Ta’wîl, *vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1988), 220; danal-Ajili, *Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, *vol. 2
(Beirut: Dar al-Kutubal-Ilmiyyah, 2003), 77
8 Said Hawa, *Al-Asâs fî Tafsîr,
*vol. 2 (Kairo: Dar al-Salam, 1999),1102.
9 As-Sa’di, *Taysîr al-Karîm
ar-Rahmân*, vol. 1 (tt: Jamiyyah al-Turats,2000), 214. Meskipun dengan ungkapan
berbeda, pandangan senada jugadikemukakan oleh al-Alusi,
10 Abdul Qadim Zallum, *Nizhâm
al-Hukm *(tt: tp, 2002), 37. Buku tersebutawalnya ditulis oleh Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani, kemudian diperluas dandisempurnakan oleh Abdul Qadim Zallum.
* *
11 Said Hawa, *Al-Asâs fî Tafsîr,
*vol. 2, 1102.
12 Abdul Qadim Zallum, *Nizhâm
al-Hukm*, 50-51 * *
13 Ibnu ‘Athiyyah, *Al-Muharrar
al-Wajîz, *vol. 2, 71.
14 Al-Alusi, *Rûh al-Ma’ânî,*
vol. 3 ,* *64; asy-Syaukani, *Fath al-Qadîr,*vol. 2, 608.. Kesimpulan yang sama
juga disampaikan oleh al-Qurthubi,*Al-Jâmi’li Ahkâm al-Qur’ân,*vol. 3,* *169;
Ibnu Katsir, *Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm,*vol. 1, 633; al-Khazin, *Lubâb
at-Ta’wîl,*vol. 1, 392; al-Baidhawi, *Anwârat-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, *vol.
1, 220; al-Baghawi, *Ma’âlim at-Tanzîl,*vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1993), 355; asy-Syanqithi, *Adhwâ’al-Bayân, *vol. 1 (Beirut: Dar
al-Fikr, 1990), 244; as-Sa’di, *Taysîral-Karîm ar-Rahmân*, vol. 1, 214.
15 Ibnu ‘Athiyyah, *al-Muharrar
al-Wajîz, *vol. 2, 71
16 Al-Jashshash, *Ahkâm
al-Qur’ân, *vol. 2, 300; Abu Hayyanal-Andalusi, *Al-Bahral-Muhîth, *vol. 3,,
290.
17 An-Nasafi, *Madârik at-Tanzîl
wa Haqâiq at-Ta’wîl, *vol 1 (Beirut: Daral-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 260; Ibnu
Katsir, *Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm,*vol. 1, 633; al-Khazin, *Lubâb
al-Ta’wîl,*vol. 1, 392; asy-Syaukani,*Fathal-Qadîr,*vol. 2, 608; al-Wahidi
al-Naisaburi, *Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ânal-Majîd, *vol. 2 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 72; al-Jazairi, *Aysar at-Tafâsîr, *vol. 1 (tt:
Nahr al-Khair, tt), 496;as-Samarqandi, *Bahr al-‘Ulûm, *vol. 1 (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah,1993), 363; Ibnu Jauzyi al-Kalbi, *At-Tashîl li ‘Ulûm
al-Qur’ân, *vol. 1(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 196; as-Sa’di,
*Taysîr al-Karîmar-Rahmân*, vol. 1, 214.
18 As-Sa’di, *Taysîr al-Karîm
ar-Rahmân*, vol. 1, 214.
19 Ibnu Katsir, *Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhîm, *vol. 1 (Riyadh: Dar ‘Alamal-Kutub, 1997), 633. Ungkapan hampir sama
juga disampaikan oleh al-Khazin,*Lubâb al-Ta’wîl,*vol. 1, 393.
20 An-Nasafi, *Madârik at-Tanzîl,
*vol 1, 260; asy-Syaukani, *Fathal-Qadîr,*vol. 2, 608; al-Baidhawi, *Anwâr
at-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, *vol. 1,221.
21 As-Suyuthi, *Ad-Durr
al-Mantsûr, *vol. 2, 314; asy-Syaukani,*Fathal-Qadîr,*vol. 2, 608
Tidak ada komentar:
Posting Komentar