Muslimah Zone. Silahkan Kunjungi

Sabtu, 07 April 2012

Syubhat Pemerintahan.1


Syubhat Pemerintah. 1

”Maka perangilah orang-orang musyrik di manapun kalian menemukan mereka.” [QS. At Taubah: 5].
”Maka perangilah pemimpin-pemimpin kekafiran karena sesungguhnya mereka tidak ada perjanjian lagi (dengan kalian) supaya mereka mau berhenti.” [Qs. At Taubah: 12].
Jika ayat-ayat ini dan ayat lainnya memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir, sedangkan para penguasa adalah kafir, maka bagaimana keluar dari mereka dan memerangi mereka hukumnya sama sekali tidak disyariatkan?

            Sebagaimana dalam hadits Ubadah bin Shamit, ”Nabi mendakwahi kami, maka kami membaiat beliau. Di antara baiat yang beliau ambil dari kami, adalah kami membaiat beliau untuk mendengar dan ta’at baik dalam keadaan sukarela maupun terpaksa, saat senang maupun susah dan atas penguasa yang mendahulukan kepentingannya atas kami (rakyat) dan janganlah kalian merebut urusan (kepemimpinan) dari orang yang memegangnya kecuali jika kalian melihat kufur yang jelas-jelas, di mana kalian mempunyai dalilnya dari sisi Allah”. [HR. Bukhari 7055-7056, Muslim 170 kitabul Iman hadits ke 22].

1. Hadits Ummu Salamah secara marfu’, ”Akan ada para umara’ yang kalian ketahui lalu kalian ingkari. Maka barang siapa mengetahui maka ia telah berlepas diri, barang siapa mengingkari maka ia telah selamat, akan tetapi (yang tidak selamat adalah) orang yang ridha dan mengikuti. “Mereka bertanya, ”Apakah tidak kami perangi saja mereka itu? ”Beliau menjawab,”Tidak, selama mereka masih sholat”. [Muslim 1853, Abu Daud 4760, Tirmidzi 2665, Ahmad VI/302, 305, 321].
2. Hadits Auf bin Malik, Ditanyakan, ”Ya Rasulullah, bolehkah kami melawan mereka dengan pedang? ”Beliau menjawab, ”Jangan, selama mereka masih menegakkan sholat di antara kalian”. [Muslim 1855, Ahmad VI/24, Darimi II/324].
hadis 1 dan 2 telah dikecualikan oleh hadis Ubadah bin Shamit di atas.

            (a). Al Hafidz dalam Fathul Bari XIII/124 telah menukil perkataan Ibnu Tien, ”Para ulama telah ijma’ (bersepakat) bahwasanya jika khalifah mengajak kepada kekafiran atau bid’ah maka ia dilawan. Para ulama berbeda pendapat kalau khalifah merampas harta, menumpahkan darah dan melanggar kehormatan; apakah dilawan atau tidak?. ”Ibnu Hajar berkata, ”Pernyataan beliau tentang adanya ijma’ ulama mengenai hukum melawan imam jika ia mengajak kepada bid’ah ini tertolak, kecuali jika maksudnya adalah bid’ah yang jelas-jelas membawa kepada kekafiran yang nyata.”

            (b). Al Hafidz dalam Fathul Bari XIII/132 juga menyatakan, ”Kesimpulannya seorang khalifah dipecat berdasar ijma’ kalau ia telah kafir. Maka wajib bagi setiap muslim melakukannya. Siapa kuat melaksanakannya maka baginya pahala, siapa yang berkompromi baginya dosa, sedang yang tidak mampu (lemah) wajib hijrah dari bumi tersebut.”

            (c). Juga dalam Fathul Bari XIII/11 disebutkan, ”Sebagian ulama menyatakan sejak awal tidak boleh mengangkat seorang fasik sebagai khalifah. Jika ternyata kemudian ia berbuat dzalim setelah sebelumnya memerintah dengan adil, para ulama berbeda pendapat tentang hukum keluar darinya. Pendapat yang benar adalah tidak boleh kecuali jika ia telah kafir, maka wajib keluar darinya.”

            (d). Imam Nawawi menukil dalam Syarhu Shahih Muslim XII/229 dari qodhi Iyadh, ”Jika terjadi kekafiran atau merubah syariat atau bid’ah, ia telah keluar dari kedudukannya sebagai penguasa maka gugurlah kewajiban taat kepadanya dan wajib atas umat Islam untuk melawan dan menjatuhkannya serta mengangkat imam yang adil kalau hal itu memungkinkan. Jika tidak mampu melaksanakannya kecuali sekelompok orang maka wajib atas kelompok tersebut melawan dan menjatuhkan imam tersebut. Adapun imam yang mubtadi’ (berbuat bid’ah) tidak wajib menjatuhkannya kecuali jika mereka memperkirakan mampu melakukan hal itu…”

            (e). Imam Ibnu Katsir setelah menyebutkan Ilyasiq yang ditetapkan oleh Jengish Khan, beliau berkata, ”Undang-undang ini bagi anak keturunannya akhirnya menjadi sebuah perundang-undangan yang diikuti. Mereka mendahulukannya atas berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Siapa saja di antara mereka melakukan hal ini maka ia telah kafir, wajib diperangi sampai kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, sehingga tidak diberlakukan hukum selain hukum Allah dan Rasul-Nya, baik dalam masalah yang sedikit maupun banyak.” [Tafsir Al Qur’anil ‘Adzim II/68].

            (f). Imam Asy Syaukani setelah berbicara tentang orang yang berhukum kepada selain syariat Allah, beliau berkata, ”Jihad melawan mereka itu wajib dan memerangi mereka itu sebuah keharusan sampai mereka menerima hukum-hukum Islam, tunduk kepadanya dan menghukumi di antara mereka dengan syariah muthaharah dan keluar dari seluruh thaghut-thaghut syaitaniyah yang mereka ikuti.” [Ad Dawa-ul ‘Ajil Fi Daf’il ‘Aduwwi al Shoil hal. 25].

            (g). Imam Ibnu Abdil Barr dalam Al Kafi (I/463) mengatakan, ”Al Umari al ‘abid —yaitu Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdullah bin Umar bin Khathab— bertanya kepada imam Malik bin Anas, ”Wahai Abu Abdillah, bolehkah kita tidak terlibat dalam memerangi orang yang keluar dari hukum-hukum Allah dan berhukum dengan selain hukum-Nya?” Imam Malik menjawab, ”Urusan ini tergantung kepada jumlah banyak atau sedikit. ”Imam Abu Umar Ibnu Abdil Barr berkata, ”Jawaban Imam Malik ini sekalipun berkenaan dengan jihad melawan orang-orang non musyrik, namun juga mencakup orang-orang musyrik dan mencakup amar makruf nahi mungkar. Seakan-akan beliau berkata siapa mengetahui bahwa jika ia melawan musuh, musuh akan membunuhnya sedang ia tidak menimpakan kehinaan sedikitpun pada diri musuh, maka ia boleh meninggalkan memerangi mereka dan bergabung dengan sekelompok kaum muslimin yang lain…”.
Pernyataan-pernyataan lugas dari para ulama yang menyatakan adanya ijma’ keluar dari ketaatan kepada penguasa jika ia telah kafir ini

            (h) Ibnu Rajab Al Hambali dalam Jamiul Ulum wal Hikam hal. 73 berkata, ”Jika telah masuk Islam, lalu melaksanakan sholat dan zakat serta menjalankan syariat-syariat Islam, maka ia mempunyai hak yang sama dengan hak seorang muslim lainnya dan ia mempunyai kewajiban sebagaimana kewajiban muslim lainnya. Jika meninggalkan salah satu dari rukun-rukun, jika mereka sebuah kelompok maka mereka diperangi…”

            Di antaranya adalah perkataan beliau ketika ditanya tentang memerangi bangsa Tartar, “Setiap kelompok yang menolak untuk komitmen dengan sebuah syariah dari syariah Islam yang dhahir mutawatir seperti kaum tersebut (Tartar) dan selainnya, maka wajib hukumnya memerangi mereka sampai mereka kembali komitmen dengan syariat-syariat Islam, sekalipun mereka masih mengucapkan syahadat dan komitmen dengan sebagian syariat Islam.”

            “Sebagaimana Abu Bakar dan para shahabat memerangi kaum yang menolak membayar zakat. Ini telah menjadi kesepakatan para ulama setelah mereka setelah terjadinya dialog antara Abu Bakar dengan Umar. Maka para shahabat telah bersepakat untuk berperang demi menjaga hak-hak Islam, sebagai pengamalan Al Qur’an dan As Sunah. Demikian juga telah tetap dari Rasulullah sepuluh sanad: hadits tentang Khawarij. Beliau memberitahukan bahwa Khawarij adalah seburuk-buruk makhluk, sekalipun beliau menyebutkan,” Sholat kalian akan remeh bila dibandingkan sholat mereka, dan shaum kalian akan remeh bila dibandingkan shaum mereka.”

            Dengan ini diketahui bahwa sekedar berpegang teguh dengan Islam tanpa disertai komitmen kepada syariat-syariatnya tidak menggugurkan dari sikap memerangi mereka. Perang wajib ditegakkan sampai seluruh dien menjadi hak Allah, dan sampai fitnah tidak ada lagi. Kapan saja dien itu untuk selain Allah maka perang hukumnya wajib. Maka kelompok mana saja menolak mengerjakan sebagian shalat yang wajib, atau shaum atau haji atau untuk komitmen dengan pengharaman darah, harta, khamar dan judi atau menikahi perempuan mahramnya atau menolak untuk komitmen dengan jihad melawan orang-orang kafir atau mengambil jizyah dari ahlu kitab dan kewajiban serta larangan dien lainnya —di mana tak ada udzur pada seorangpun untuk mengingkarinya dan meninggalkannya, bahkan orang yang mengingkarinya telah kafir— maka kelompok yang menolak ini diperangi sekalipun masih mengakui syariat ini. Ini adalah sesuatu perkara yang aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama.” [Majmu’ Fatawa XXVIII/502-503].

            "Seandainya kalian dipimpin oleh seorang budak yang memimpin kalian berdasarkan Kitabullah, maka patuhi dan taatilah.”Dalam riwayat lain dituturkan;"Wahai umat manusia, bertakwalah kepada Allah, meski kalian dipimpin oleh seorang budak Ethiopia yang tidak karuan rupa (buruk rupa)-nya, maka patuhi dan taatilah, selama masih menegakkan Kitabullah di tengah-tengah kalian."HR. Ahmad (IV/126,127, Abu Dawud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Darimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205) dan al-Hakim (I/95-96), dari Sahabat ‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu 'anhu. Dishahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lafazh ini milik al-Hakim.

            "Artinya : Tidak (boleh) taat (terhadap perintah) yang di dalamnya terdapat maksiyat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebajikan” [HR. Al-Bukhari (no. 4340, 7257), Muslim (no. 1840), Abu Dawud (no. 2625), an-Nasa'i (VII/159-160), Ahmad (I/94), dari Sahabat ‘Ali Radhiyallahu 'anhu.]
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”. (An Nisa: 59)
“Hai orang-orang yang beriman…”, ini adalah khithab (seruan) terhadap orang-orang yang beriman. “…taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”, ulil amri adalah ulil amri dari kalangan kalian, yaitu pemimpin muslim atau pemimpin yang mukmin, itu adalah pengertian sederhananya.
Jadi, pemimpin yang harus ditaati -tentunya selain dalam maksiat- adalah pemimpin muslim, karena Allah mengatakan “min kum” (dari kalangan kalian) setelah mengkhithabi “hai orang-orang yang beriman”.

            Orang yang beriman atau orang muslim yang berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma adalah orang yang beriman kepada Allah dan kafir kepada thaghut, berikut ini adalah penjabarannya:
            Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Al Baqarah: 256:“Barangsiapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia telah berpegang teguh pada al ‘urwah al wutsqa”.
Setelah memahami hal ini, maka kita bisa menyimpulkan bahwa TIDAK BENAR ketika orang memerintahkan kaum muslimin untuk loyal kepada pemerintah semacam ini dengan menggunakan dalil surat An Nisa: 59, karena ulil amri dalam ayat tersebut adalah “dari kalangan kalian” yang berarti dari kalangan orang-orang yang beriman, sedangkan pemerintahan NKRI ini sudah kita ketahui bahwa mereka BUKAN orang-orang yang beriman, akan tetapi justeru mereka adalah adalah thaghut, orang musyrik, orang-orang kafir, orang-orang murtad. Jadi, jelaslah tidak sesuai dengan pemerintah ini.

Sabab an-Nuzûl*
Diriwayatkan al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, IbnuJarir, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, al-Baihaqi dalam *Ad-Dalâil* dari jalurSaid bin Jubair dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini turun berkenaan denganAbdullah bin Hudzafah bin Qais bin ’Adi, ketika dia diutus Rasulullah saw.dalam sebuah *sariyah *(perang).1

*Tafsir Ayat *
Allah Swt. berfirman: *Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû athî‘û Allâh wa athî’ûar-Rasûl wa ulî al-amri minkum. Khithâb* ayat ini ditujukan kepada seluruhkaum Mukmin. *Pertama*: perintah untuk menaati Allah Swt., yakni menjalankanperintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.2 Kata *ath-thâ’ah *berarti *al-inqiyâd*(ketundukan).3 Maksud menaati Allah Swt. di sini adalah mengikuti al-Quran.
*Kedua*: perintah menaati Rasulullah saw. Rasulullah saw. diutus denganmembawa risalah dari Allah Swt. yang wajib di taati. Karena itu, menaatiRasulullah saw. sama dengan menaati Zat Yang mengutusnya, Allah Swt. (lihatQS an-Nisa’ [4]: 64, 80).

            Kendati menaati Rasulullah saw. paralel dengan menaati Allah Swt., dalamayat ini kedua-duanya disebutkan. Hal itu menunjukkan perbedaan obyek yangditunjuk. Menaati Allah Swt. menunjuk pada Kitabullah; menaati Rasulullahsaw. menunjuk pada as-Sunnah. Keduanya—meskipun sama-sama wahyu dari AllahSwt. yang wajib ditaati—berbeda. Al-Quran lafalnya dari Allah Swt.; as-Sunnahlafalnya dari Rasulullah saw. sendiri.
*Ketiga*: perintah menaati ulil amri. Para mufassir berbeda pendapatmengenai makna istilah tersebut. Oleh sebagian mufassir, ulil amri dimaknaisebagai *ulamâ’*. Jabir bin Abdullah, Ibnu Abbas dalam suatu riwayat,al-Hasan, Atha’ dan Mujahid termasuk yang berpendapat demikian. Merekamenyatakan, ulil amri adalah ahli fikih dan ilmu.4

            Pendapat lain menyatakan, ulil amri adalah *umarâ’ *atau *khulafâ’*. MenurutIbnu ’Athiyah dan al-Qurthubi, ini merupakan pendapat jumhur ulama.5 Diantara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas dalam suatu riwayat, AbuHurairah, as-Sudi, dan Ibnu Zaid;6 juga ath-Thabari, al-Qurthubi,az-Zamakhsyari, al-Alusi, asy-Syaukani, al-Baidhawi, dan al-Ajili.7* *SaidHawa juga menyatakan, ulil amri adalah khalifah; yang kepemimpinannyaterpancar dari syura kaum Muslim; urgensinya untuk menegakkan al-Kitab danas-Sunnah. Kaum Muslim wajib menaatinya beserta para amilnya dalam hal yangmakruf.8

            Tampaknya pendapat jumhur lebih dapat diterima. Dari segi sabab nuzulnya,ayat ini turun berkenaan dengan komandan pasukan. Ini berarti, topik yangmenjadi obyek pembahasan ayat ini tidak terlepas dari masalah kepemimpinan.Telah maklum, pemimpin tertinggi kaum Muslim adalah khalifah. Dialah AmirulMukminin yang memiliki kewenangan untuk mengangkat para pemimpin dibawahnya, termasuk panglima perang dan komandan pasukan.

            Kata *minkum *memberikan batasan bahwa ulil amri itu harus *minal-Muslimîn*(dari kalangan Muslim). Jika bukan Muslim maka tidak adahak wilayah baginyaatas Muslim dan tidak ada ketaaan kepadanya.11 Ayat ini juga bisa menjadidalil bahwa khalifah haruslah seorang Muslim. Kesimpulan itu makin kukuhtatkala dalam al-Quran tidak didapati kata *ulil amri *kecuali disertaidengan penjelasan bahwa mereka dari kalangan kaum Muslim.12 * *
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: *fa in tanâza‘tum fî syay’[in] faruddûhuilâ Allâh wa ar-Rasûl*. Kata *tanâzu‘ * berarti mencabut hujjah lawannya danmenyikirkannya.13 Kata ini untuk menggambarkan adanya perselisihan danperdebatan yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Kata *syay’[in] *(sesuatu)* *meliputi semua urusan, baik urusan *ad-dîn *maupun* *dunia.Namun, ketika dilanjutkan, *faruddûhu ila Allâh wa ar-Rasûl*, maka kalimatitu menjelaskan bahwa sesuatu yang diperselisihkan itu adalah urusan *ad-dîn*.14

            Kata *tanâza’tum *berarti kalian berselisih, baik yang terjadi di antarakalian atau antara kalian dengan umara kalian.15 Jika hal itu terjadi,mereka diperintahkan mengembalikan perkara yang mereka perselisihkan itukepada Allah dan Rasul, yakni pada al-Kitab dan as-Sunnah. Demikianpenafsiran para mufassir, seperti Mujahid, Qatadah, Maimun bin Mahran, danas-Sudi;16 juga an-Nasafi, Ibnu Katsir, al-Khazin, asy-Syaukani, Ibnu Juzyial-Kalbi, al-Wahidi, al-Jazairi, as-Samarqandi, dan al-Sa’di.17
            Kemudian Allah Swt. berfirman: *in kuntum tu’minûna bi Allâh wa al-yawmial-âkhir*. Mengomentari kalimat ini, as-Sa’di berkata, *“Hal itu menunjukkanbahwa orang yang tidak mengembalikan masalah yang diperselisishkan kepadakeduanya (al-Quran dan as-Sunnah) pada hakikatnya bukanlah seorang Mukmin,namun beriman kepada thâghût, sebagaimana disampaikan dalam ayat selanjutnya*.”18

            Hal senada juga dinyatakan oleh Ibnu Katsir.19* *
Ayat ini kemudian diakhiri dengan firman-Nya: *Dzâlika khayru wa ahsanuta’wîl[an]. *Kata *Dzâlika *menunjuk pada tindakan mengembalikan perkarapada al-Kitab dan as-Sunnah.20 Qatadah menyatakan, maksud farasa ini adalah:*ahsanu tsawâb[an] wa khayru âqibat[an]* (sebaik-baik pahala danseutama-utama akibat).21
*Kontradiksi dengan Demokrasi*

            Sebagaimana telah dijelaskan, ayat ini menjadi dalil bagi kewajiban untukmengangkat ulil amri atau pemimpin yang berwenang mengatur urusan kaumMuslim. Ayat ini juga memberikan penjelasan mengenai pilar-pilarpemerintahan Islam. Berkenaan dengan masalah kedaulatan, ayat ini memberikankonsep amat jelas, bahwa kedaulatan dalam pemerintahan Islam (yang dikenaldengan sebutan Khilafah) ada di tangan syariah. Di antara beberapa buktinyaadalah:
*Pertama*, perintah untuk menaati Allah Swt. dan Rasulullah saw, yaknitunduk dan patuh pada segala ketentuan dalam al-Quran dan as-Sunnah.Ketetapan ini meniscayakan, semua hukum dan undang-undang yang diberlakukanwajib bersumber dari keduanya. Memang benar, selain diperintahkan taatkepada Allah Swt dan Rasul-Nya, kaum Muslim juga diperintahkan taat kepadauli al-amri. Namun, ketaatan itu bukan tanpa batasan sama sekali. Kewajibantaat itu berlaku jika perkara yang diperintahkan ulil amri bersesuaiandengan hukum syariah. Jika perkara yang diperintahkan menabrak syariah, kaumMuslim tidak boleh taat.
Lebih dari itu, ulil amri juga menjadi pihak yang wajib tunduk pada syariah.Sebab, mereka termasuk yang diseru ayat ini. Ungkapan *minkum *pada kata *waulî al-amri minkum *menunjukkan bahwa mereka juga termasuk dalambagian *al-ladzînaâmanû. *Karena itu, mereka pun wajib menaati Allah Swt. Bahkan kedudukanmereka sebagai ulil amri adalah dalam rangka menjalankan ketaatan kepadaAllah Swt. dan Rasul-Nya (syariah).
*Kedua*, ayat ini menetapkan, setiap perselisihan yang terjadi wajibdikembalikan pada syariah. Firman Allah Swt., *Fa in tanâza’tum fî syay’[in]faruddûhu ila Allâh wa ar-Rasûl*, jelas menunjukkan makna demikian.

_______________
Catatan kaki:*

1 As-Suyuthi, *Ad-Durr al-Mantsûr, *vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutubal-Ilmiyyah, 1990), 314.
2 As-Qurthubi, *Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,*vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutubal-Ilmiyyah, 1993),* *167; as-Syaukani, *Fath al-Qadîr, *vol. 2, 608.
3 Al-Khazin, *Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl,*vol. 1 (Beirut: Daral-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 392.
4 Al-Jashshash, *Ahkâm al-Qur’âm, *vol. 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1993),298.
5 Ibnu ‘Athiyyah, *Al-Muharrar al-Wajîz, *vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutubal-Ilmiyyah, 1993), 70; Ibnu Jauzyi al-Kalbi, *al-Tashîl li ‘Ulûm al-Qur’ân,*vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 196. * *
6 Abu Hayyan al-Andalusi, *Al-Bahr al-Muhîth, *vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutubal-Ilmiyyah, 1993), 290.
7 Ath-Thabari, *Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, *vol. 4 (Beirut:Dar al-Kutubal-Ilmiyyah, 1992), 153; al-Qurthubi, *al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,*vol. 3,**168; az-Zamakhsyari, *Al-Kasysyâf, *vol 1 (Beirut: Dar al-Kutubal-Ilmiyyah, 1995), 513; al-Alusi, *Rûh al-Ma’ânî,* vol. 3 (Beirut:Dar al-Kutubal-Ilmiyyah, 1999),* *63; asy-Syaukani, *Fath al-Qadîr, *vol. 2 (Beirut: Daral-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 608; al-Baidhawi, *Anwâr at-Tanzîl wa Asrâral-Ta’wîl, *vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 220; danal-Ajili, *Al-Futûhât al-Ilâhiyyah, *vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutubal-Ilmiyyah, 2003), 77
8 Said Hawa, *Al-Asâs fî Tafsîr, *vol. 2 (Kairo: Dar al-Salam, 1999),1102.
9 As-Sa’di, *Taysîr al-Karîm ar-Rahmân*, vol. 1 (tt: Jamiyyah al-Turats,2000), 214. Meskipun dengan ungkapan berbeda, pandangan senada jugadikemukakan oleh al-Alusi,
10 Abdul Qadim Zallum, *Nizhâm al-Hukm *(tt: tp, 2002), 37. Buku tersebutawalnya ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, kemudian diperluas dandisempurnakan oleh Abdul Qadim Zallum. * *
11 Said Hawa, *Al-Asâs fî Tafsîr, *vol. 2, 1102.
12 Abdul Qadim Zallum, *Nizhâm al-Hukm*, 50-51 * *
13 Ibnu ‘Athiyyah, *Al-Muharrar al-Wajîz, *vol. 2, 71.
14 Al-Alusi, *Rûh al-Ma’ânî,* vol. 3 ,* *64; asy-Syaukani, *Fath al-Qadîr,*vol. 2, 608.. Kesimpulan yang sama juga disampaikan oleh al-Qurthubi,*Al-Jâmi’li Ahkâm al-Qur’ân,*vol. 3,* *169; Ibnu Katsir, *Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm,*vol. 1, 633; al-Khazin, *Lubâb at-Ta’wîl,*vol. 1, 392; al-Baidhawi, *Anwârat-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, *vol. 1, 220; al-Baghawi, *Ma’âlim at-Tanzîl,*vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 355; asy-Syanqithi, *Adhwâ’al-Bayân, *vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 244; as-Sa’di, *Taysîral-Karîm ar-Rahmân*, vol. 1, 214.
15 Ibnu ‘Athiyyah, *al-Muharrar al-Wajîz, *vol. 2, 71
16 Al-Jashshash, *Ahkâm al-Qur’ân, *vol. 2, 300; Abu Hayyanal-Andalusi, *Al-Bahral-Muhîth, *vol. 3,, 290.
17 An-Nasafi, *Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, *vol 1 (Beirut: Daral-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 260; Ibnu Katsir, *Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm,*vol. 1, 633; al-Khazin, *Lubâb al-Ta’wîl,*vol. 1, 392; asy-Syaukani,*Fathal-Qadîr,*vol. 2, 608; al-Wahidi al-Naisaburi, *Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ânal-Majîd, *vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 72; al-Jazairi, *Aysar at-Tafâsîr, *vol. 1 (tt: Nahr al-Khair, tt), 496;as-Samarqandi, *Bahr al-‘Ulûm, *vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah,1993), 363; Ibnu Jauzyi al-Kalbi, *At-Tashîl li ‘Ulûm al-Qur’ân, *vol. 1(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 196; as-Sa’di, *Taysîr al-Karîmar-Rahmân*, vol. 1, 214.
18 As-Sa’di, *Taysîr al-Karîm ar-Rahmân*, vol. 1, 214.
19 Ibnu Katsir, *Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, *vol. 1 (Riyadh: Dar ‘Alamal-Kutub, 1997), 633. Ungkapan hampir sama juga disampaikan oleh al-Khazin,*Lubâb al-Ta’wîl,*vol. 1, 393.
20 An-Nasafi, *Madârik at-Tanzîl, *vol 1, 260; asy-Syaukani, *Fathal-Qadîr,*vol. 2, 608; al-Baidhawi, *Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, *vol. 1,221.
21 As-Suyuthi, *Ad-Durr al-Mantsûr, *vol. 2, 314; asy-Syaukani,*Fathal-Qadîr,*vol. 2, 608


Tidak ada komentar:

Posting Komentar