Muslimah Zone. Silahkan Kunjungi

Selasa, 03 April 2012

Menimbang PEMILU DEMOKRASI dengan Akal


Gunakan Hak Memilihmu Untuk Tidak Menmilih,,,, atau anda BAHLUL !


Dewasa ini, “demokrasi” menguasai dunia. Runtuhnya rezim komunis Rusia, pendudukan di Afghanistan dan Irak yang mengatasnamakan demokrasi, sistem Pemilu multipartai yang semakin dipopulerkan di berbagai negara-negara miskin Dunia Ketiga, pertemuan-pertemuan tingkat dunia yang membahas persoalan demokrasi ekonomi, pembantaian warga sipil palestina di Jalur Gaza dan serangan balas dendam pada warga Israel yang tidak bersalah demi kekuasaan modal, juga jadwal Pemilu pada bulan April 2009 di Indonesia—yang selalu diklaim dan digembar-gemborkan sebagai pesta demokrasi. 

Lalu kenapa kita tidak merasa ada sesuatu yang menggembirakan, jika demokrasi adalah solusi dari segala masalah kita dan dunia? Kenyataannya dunia masih juga berjalan di antara kemiskinan, pengangguran, penghancuran ekologi, penghancuran hak-hak warga oleh korporasi, dan masalah-masalah lainnya. Lebih dari itu, kemandirian komunitas telah menjadi sesuatu yang benar-benar langka. Apakah ada yang salah dengan “demokrasi”? Apakah ada alternatif yang lebih memungkinkan dari “demokrasi”?

Setiap anak dapat bercita-cita jadi seorang Presiden? Bohong! Menjadi seorang Presiden berarti memegang sebuah kekuatan dalam posisi yang hierarkis, sama halnya dengan menjadi seorang milyuner: untuk ada satu orang Presiden, harus ada milyaran orang yang memiliki kekuatan lebih rendah dari dirinya. Dan seperti halnya dengan milyuner, hal yang sama berlaku juga dengan keberadaan seorang Presiden: bukan sebuah kebetulan bahwa kedua tipe tersebut saling menguntungkan, semenjak keduanya datang dari dunia yang memiliki banyak hak-hak istimewa dengan cara membatasi hak-hak kita sebagai orang-orang yang bukan bagian dari mereka. Sistem ekonomi kita, juga sebenarnya tidaklah demokratis, kita semua sudah tahu bahwa sumber kekayaan didistribusikan dengan proporsi yang secara absurd sangatlah tidak adil. 

Untuk menjadi seorang Presiden Anda harus memulainya dengan memiliki sumber kekayaan, atau setidaknya memiliki kedudukan untuk mengumpulkan lebih banyak lagi sumber kekayaan. Walaupun apabila memang benar bahwa setiap orang dapat tumbuh menjadi seorang Presiden, hal tersebut tidaklah akan menolong milyaran dari kita yang kebetulan tidak menjadi seorang Presiden—yang masih harus hidup dalam bayang-bayang kekuasaannya. 

Hal inilah yang menjadi kesulitan mendasar, yang intrinsik, dalam sistem demokrasi representatif —di mana kesulitan tersebut terjadi dalam level paling bawah maupun dalam level teratas. Sebagai contoh: Walikota, bersama beberapa orang politisi profesional, dapat mengagendakan pertemuan-pertemuan yang mendiskusikan masalah-masalah yang dialami oleh warga kota tersebut. Kemudian mereka menghasilkan berbagai keputusan setiap harinya untuk ditaati oleh setiap warga kota, tanpa sekalipun pernah mengkonsultasikannya dengan para warganya. 

Masalahnya, masalah yang dialami oleh tiap warga pasti berbeda-beda, sehingga mereka yang tidak mengalami masalah yang sama jelas akan merasa keberatan dengan diberlakukannya keputusan sepihak dari Walikota. Tidak perlu heran apabila ketidakpuasan akan terus terjadi. Para warga kota dapat memilih Walikota yang lain, walaupun pilihannya hanya akan kembali ke lingkaran yang itu-itu saja: mereka yang telah disediakan dalam daftar politisi atau calon politisi yang sudah dipilihkan untuk warga kota. Dari pilihan itu, tetap saja kepentingan dan kekuatan kelas dari para politisi tersebut akan selalu bertentangan dengan kepentingan warga kota. 

Lagipula, para loyalis partai politik selalu saja hanya melakukan hal-hal yang dianggap baik demi mendapatkan kursi kekuasaan dan bagaimana caranya mempertahankan kursi tersebut. Apabila tidak ada Presiden, maka bukan berarti bahwa “demokrasi” kita tersebut kurang demokratis. Masalah mendasarnya adalah korupsi, kepemilikan hak-hak istimewa dan hierarki tidak akan pernah lenyap walaupun kita telah memilih jutaan Presiden; karena cacat tersebut tidak terletak secara personal pada siapa yang menjadi Presiden, melainkan bahwa hal-hal tersebut merupakan metode-metode pemerintahan yang telah melekat erat dalam bentuk pemerintahan apa pun.

Apabila anda pernah mengalami suatu masa di mana anda menjadi bagian dari kelompok minoritas yang tidak masuk hitungan sama sekali, sementara kelompok mayoritas memutuskan bahwa anda harus kehilangan sesuatu yang sangat penting bagi diri anda sendiri tapi dianggap tidak penting oleh kelompok mayoritas, akankah anda hanya menurut demi kepentingan mayoritas? Saat hal tersebut terjadi, benarkah seseorang akan menyadari bahwa kekuasaan sekelompok orang ada karena mereka telah menyingkirkan hak-hak orang lainnya? 

Kita menerima kebenaran secara mutlak bahwa kepentingan mayoritas lebih penting karena kita tidak pernah percaya bahwa hal tersebut akan mengancam kepentingan kita—dan biasanya mereka, para minoritas yang telah terancam kepentingannya, telah ditutup dulu mulutnya sebelum kita sempat mendengar langsung tentang kondisi yang mereka alami. 

Tak ada “masyarakat biasa” yang mengakui bahwa dirinya terancam oleh aturan mayoritas, karena setiap orang berpikir ada sebuah “kekuasaan moral” yang menyatakan bahwa kepentingan mayoritas ada di atas segala-galanya: sesuatu yang di dalam kenyataan disebut sebagai fakta dengan merujuk pada standarisasi nilai-nilai yang tidak pernah ditanyakan terlebih dahulu, apakah kita sepakat atau tidak dengan aturan tersebut. Kalaupun hal tersebut tidak disebut sebagai fakta, setidaknya kita begitu sering mendengar hal tersebut dari berbagai teori, yang menyatakan bahwa ide tentang kepentingan mayoritas ada di atas segala-galanya. Dari demokrasi tersentral ala negara-negara Komunis, demokrasi Pancasila, sampai dengan demokrasi pasar yang eksis sekarang ini, kesemuanya tidak pernah mengakomodir kepentingan yang berbeda dari kepentingan mayoritas, bahkan jika itu adalah sesuatu yang keliru. 

Demokrasi dengan aturan mayoritas selalu berakhir dengan keputusan bahwa, apabila segala fakta telah terbukti benar, maka semua orang akan dibuat melihat bahwa hanya ada satu macam cara melakukan sesuatu yang bisa dikatakan benar alias hanya ada satu macam kebenaran. Tak heran jika pola demokrasi seperti demikian tak ada bedanya dengan kediktatoran. Masalahnya, dalam banyak kasus bahkan apabila “fakta” dapat dihadirkan secara jelas pada semua orang (yang jelas tak akan mungkin) beberapa hal tak dapat disetujui begitu saja, yang merupakan bukti bahwa sebenarnya kebenaran tidak hanya satu macam saja. 

Ada begitu banyak kebenaran di dunia ini, karena masing-masing individu dan lingkungan yang membentuknya punya keunikannya sendiri. Memaksa kebenaran yang bervariatif menjadi kebenaran tunggal akan menghilangkan keindahan yang mewarnai hidup ini. Kita semua membutuhkan bentuk-bentuk demokrasi yang mampu menghitung peristiwa-peristiwa tentang perbedaan kebenaran, di mana kita juga bebas dari sebuah sistem kediktatoran mayoritas sebagaimana kediktatoran kelas yang memiliki hak-hak istimewa. 

Perlindungan yang disediakan oleh institusi-institusi legal yang kita miliki sama sekali tidak cukup. “Aturan dan hukum yang adil”, yang dewasa ini diberhalakan oleh mereka yang memang memerlukan perlindungan atas kepentingannya (misalnya tuan tanah atau direktur bank), tidak dapat melindungi setiap orang dari kekacauan atau ketidakadilan; hal tersebut hanya menciptakan arena spesialisasi baru, di mana potensi dan kekuatan yang sebenarnya dimiliki oleh komunitas akan direduksi ke dalam sebuah arena jual beli yang mahal untuk membayar hakim atau pengacara. 

Masyarakat yang miskin, lemah, dan tidak berdaya, adalah kelompok yang paling akhir diperhatikan oleh aturan hukum yang ada. Di bawah kondisi demikian, potensi mandiri dan kekuatan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat akan disibukkan pada persoalan pemenuhan kemampuan finansial untuk membiayai institusi pengadilan, bukan digunakan untuk merebut kembali hidup yang telah dirampas. Memapankan keadilan dalam masyarakat melalui penguatan dan pemaksaan kontrol oleh hukum tidak akan pernah berhasil: beberapa hukum hanya dapat menginstitusionalkan apa yang telah menjadi aturan dalam masyarakat. Apa yang kita butuhkan adalah meninggalkan demokrasi representatif, untuk sebuah demokrasi partisipatoris sepenuhnya.  
Kebebasan bukanlah sebuah kondisi—melainkan sesuatu yang lebih dapat dikatakan sebagai sebuah sensasi—dan hal tersebut bukanlah sebuah konsep akan janji kesetiaan untuk dituju, sebuah sebab yang mendasari tindakan, ataupun sebuah standar yang mengharuskan kita berbaris di bawah satu bendera; melainkan sebuah pengalaman yang harus anda alami sehari-hari yang bila tidak dialami, maka kebebasan tersebut akan meninggalkan anda. 

Kebebasan bukanlah saat kita beraksi ketika bendera dikibarkan dan bom-bom dijatuhkan hanya demi “membuat dunia aman untuk demokrasi”, tak peduli apa pun warna bendera yang dikibarkan (bahkan juga bendera hitam). Kebebasan tak bisa diterapkan dalam sistem pemerintahan ataupun doktrin filosofis apa pun. Memberikan kebebasan pada orang lain tak akan mampu memperkuat kebebasan, selain hanya mengekang kemampuan orang tersebut untuk menemukan kebebasannya sendiri. Kebebasan muncul pada saat-saat yang sederhana; saat membuat anak kecil percaya pada sesuatu yang dilakukannya, pada momen-momen bersama dengan beberapa teman dekat dan kerabat, ataupun pada saat para pekerja menolak perintah pimpinan serikat buruhnya, dan kemudian mengorganisir pemogokan mandiri tanpa pemimpin. 

Apabila kita memang memperjuangkan kebebasan kita, maka kita harus mulai berjanji pada diri kita sendiri untuk selalu mengejar dan menghargai momen-momen tersebut dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengembangkannya. Hal ini jelas lebih baik daripada menghabiskan waktu kita untuk melayani kepentingan partai atau ideologi (apa pun). Kebebasan yang nyata tak akan dapat ditemui dalam kotak Pemilu. Kebebasan bukan sekedar kemampuan untuk memilih satu dari beberapa pilihan, melainkan berpartisipasi aktif untuk membuat pilihan sendiri: membentuk dan mendekor ulang lingkungan di mana pilihan-pilihan tersebut dapat terbentuk. Tanpa hal ini, kita tak akan memiliki apa pun, selain hanya menerima pilihan yang telah ada berulang-ulang kali—membuat keputusan yang hasil akhirnya juga akan selalu sama. 

Apabila pilihan ada di tangan kita, maka segala sesuatu berarti kemungkinan baru. Dan ketika telah tiba saatnya untuk mengambilalih kekuatan dan kekuasaan atas diri kita sendiri, maka tak akan ada seorang pun yang dapat merepresentasikan diri kita—hal itu adalah sesuatu yang harus kita lakukan secara mandiri. Kedaulatan tak akan pernah bisa direpresentasikan, bukan?!

Apabila kebebasan adalah sesuatu yang berharga di mana telah banyak generasi yang berjuang dan mati untuknya, maka kotak suara Pemilu adalah sebuah pereduksian makna atas kebebasan itu sendiri; seseorang cukup memasukkan pilihan suaranya pada sebuah kotak, kemudian kembali ke tempat kerjanya di mana dirinya tak lagi memiliki kontrol atas hidupnya, yang juga berarti hal tersebut justru tidak dapat dibilang sebagai upaya untuk meneruskan perjuangan demi kebebasan yang telah dilakukan lebih dulu oleh generasi-generasi sebelum kita. 

Untuk gambaran yang lebih mudah mengenai kebebasan, lihatlah musisi yang sedang melakukan improvisasi musikal bersama beberapa partnernya; ia melakukannya dalam suasana yang menyenangkan, dengan kerjasama yang benar-benar tanpa paksaan, sehingga mereka dapat aktif mencari nada, tempo, dan suasana yang nyaman di mana mereka dapat eksis—semua berpartisipasi untuk mentransformasikan dunia yang sebaliknya juga mentransformasikan diri mereka. 

Ambil model tersebut dan terapkan pada setiap interaksi kita dengan orang lain, maka anda akan memiliki sesuatu yang secara kualitas jadi lebih baik daripada sistem yang ada saat ini: sebuah harmoni dalam hubungan dan kehidupan manusia—sebuah demokrasi yang sesungguhnya. Untuk mencapai titik tersebut, kita harus mulai menganggap Pemilu sebagai sebuah ekspresi kebebasan dan partisipasi yang telah ketinggalan zaman dan tak layak dilakukan untuk merengkuh kebebasan yang lebih nyata.

Tak ada seorang pun yang dapat merepresentasikan kekuatan dan ketertarikan yang anda miliki—anda hanya akan mendapat kekuatan dengan melakukan sesuatu, dan anda hanya akan dapat tahu apa ketertarikan anda dengan cara melibatkan diri secara langsung. Para politisi telah mengembangkan karirnya dengan mengklaim bahwa mereka merepresentasikan orang lain seolah-olah kebebasan dan kekuatan politis dapat diselenggarakan oleh seorang wakil. 

Sejujurnya, para politisi yang sering disebut sebagai wakil rakyat, hanya orang-orang yang mewakili kepentingannya sendiri—dan kepentingan kelasnya yang berbeda dengan kita, masyarakat kebanyakan. Kepentingan para politisi yang mencari suara kita adalah mempertahankan sistem yang membeda-bedakan manusia ke dalam kelas-kelas sosial, sehingga mereka dapat menikmati hak istimewa yang hanya tersentral di sekitar mereka saja. 

Pemilu adalah ekspresi dari ketidakberdayaan dan ketidakmandirian kita: sebuah ijin yang kita berikan yang menyatakan bahwa kita hanya dapat mengerti kemampuan masyarakat kita melalui orang lain yang nantinya akan mewakili kita. Saat kita membiarkan para politisi tersebut menyediakan pilihan bagi kita, maka hal tersebut tak ada bedanya dengan saat kita menyerahkan urusan teknologi pada para teknokrat, urusan kesehatan pada dokter, tata kota yang kita tinggali pada ahli planologi; kita akan berakhir dengan terus hidup di sebuah dunia yang asing bagi diri kita sendiri, yang walaupun tenaga kita yang menciptakannya, kita tetap tidak mengerti apa yang sedang kita lakukan selain hanya menunggu diberitahu oleh para pemimpin dan para spesialis tentang apa saja kemungkinan yang kita miliki. 

Faktanya adalah kita tak perlu memilih satu di antara beberapa kandidat Presiden, merk soft-drink, channel televisi, koran, ataupun ideologi politik. Kita dapat membuat keputusan kita sendiri sebagai individu dan komunitas, kita dapat membuat makanan yang enak dengan tangan kita sendiri, membuat koalisi sendiri, media sendiri, hiburan sendiri: kita dapat menciptakan pendekatan individual kita sendiri pada hidup yang memberi kita semua keunikan masing-masing. 

Di Indonesia, Pemilu yang disebut sebagai pesta demokrasi di mana “masyarakat umum” akan memilih calon pemimpin mereka—yang diharapkan akan menciptakan perubahan—telah kehilangan pamornya. Ini bukan berarti bahwa masyarakat itu sendiri telah memiliki kesadaran bahwa sistem demokrasi elit ini sudah busuk dan sepatutnya diganti. Buktinya rutinitas ajang popularitas politisi dan elit borjuis terus saja berlangsung. Mengapa seperti ini? Jawaban yang mungkin paling mudah dan sederhana adalah bahwa, meskipun masyarakat “tidak percaya lagi” terhadap pemilu, mereka tidak punya pilihan lain mengenai pilihan macam apa yang dapat menciptakan perubahan yang berarti, selain memilih politisi. 

Inilah mengapa banyak masyarakat merasa tak berdaya. Apalagi menimbang mentalitas budaya dominan masyarakat Indonesia di mana ketergantungan dan pendambaan akan pemimpin politik masih sangat kental. Artinya, rasa percaya diri masyarakat terhadap potensi diri mereka sendiri untuk membuat perubahan sangatlah rendah. Meski begitu, budaya sendiri merupakan sesuatu yang dibuat oleh relasi antar manusia, oleh aktivitas manusia itu sendiri, yang berarti mentalitas yang dihasilkan oleh budaya itu sendiri sangat mungkin untuk dirubah. Untuk merubahnya, kita harus terbiasa untuk melakukan aksi langsung. 

Bila memang benar bahwa pemilu hanya akan memperbesar kantong para politisi dan elit borjuis, maka, adakah cara yang lebih efisien dan efektif untuk dapat merubah kehidupan kita? Jawaban yang paling mungkin dan berarti adalah bagaimana kita mewakilkan diri kita sendiri untuk memengaruhi setiap kebijakan yang akan dibuat mengenai kehidupan kita. Bagi sebagian orang, pilihan semacam ini disebut sebagai aksi langsung. 

Untuk lebih menjelaskannya, aksi langsung bukanlah cara-cara melobi atau kembali memilih kandidat untuk partisipasi politik, sama sekali bukan. Aksi langsung adalah bagaimana kita membangun suatu cara di mana kita sendiri secara langsung berpartisipasi aktif dalam perencanaan hidup kita. Ini berarti kita memotong peranan para penengah. Aksi langsung adalah juga bagaimana kita menyelesaikan permasalahan tanpa harus kompromi atau mempercayai peranan para elit politik di DPR, kepanjangan tangan korporasi, atau siapa pun yang mengklaim memiliki kekuasaan di atas kita. 

Contoh konkrit aksi langsung ada di mana-mana. Ketika sekelompok orang mendistribusikan pangan secara cuma-cuma bagi tunawisma tanpa harus menunggu kucuran dana atau izin pemerintah, mereka telah melakukan aksi langsung. Ketika seseorang membuat dan mendistribusikan medianya sendiri tanpa harus tergantung pada media-media milik borjuis untuk memuatnya, dia telah melakukan aksi langsung. Ketika komunitas kampung membangun sekolah mandirinya sendiri dan menginisiatifkan pelajarnya untuk membuat kurikulum pelajaran menurut kebutuhan mereka masing-masing tanpa harus bersandar atau tergantung pada lembaga pendidikan resmi, itu adalah aksi langsung. 

Aksi langsung merupakan fondasi perjuangan masyarakat yang sebenarnya, ketika mereka ingin melakukan perubahan yang berarti. Artinya, aksi langsung adalah ketika kita tidak lagi menuntut atau mengemis agar perubahan dapat dilakukan oleh seseorang yang berada di luar dari kita dan komunitas kita—tapi bagaimana kita dan komunitas kita sendiri yang mengupayakan perubahan tersebut sekarang juga. 

Dalam banyak hal, aksi langsung jelas lebih efektif dibandingkan pemilu. Pemilu itu seperti judi, bila salah satu kandidat tidak terpilih, maka energi yang telah diupayakan oleh komunitas-masyarakat untuk menggolkan kandidatnya akan terbuang sia-sia. Dengan aksi langsung, komunitas-masyarakat akan lebih yakin dengan kerjasama serta energi yang mereka keluarkan. Dan manfaat yang didapat dari aksi langsung akan membuat infrastruktur dalam masing-masing komunitas semakin kuat. Hubungan antar komunitas pun akan lebih hidup—serta manfaat-manfaat lainnya yang tidak akan sia-sia. 

Pemilu memusatkan seluruh kekuatan masyarakat ke tangan segelintir politisi. Semua itu dilakukan dengan berbagai intrik, manipulasi politik, serta kongkalikong dengan para pengusaha. Mereka memaksa setiap masyarakat untuk tunduk dan tidak punya partisipasi apa-apa, selain apa yang mereka perintahkan lewat mobilisasi massa dan bayaran yang sangat kecil dibanding keuntungan yang mereka dapatkan. Dengan aksi langsung, Anda akan lebih mengenal kemampuan, inisiatif, serta sumber daya-sumber daya yang ada di sekitarmu, dan memahami sejauh mana kau bisa melakukan perubahan yang sebenarnya. 

Pemilu juga memaksa semua orang agar menyepakati suatu landasan yang belum tentu cocok dengan kita. Berbagai bentuk koalisi akan dibangun untuk membuat kompromi—setiap faksi bersikukuh bahwa landasan merekalah yang paling benar dan faksi yang lainnya hanya menjadi perusak semenjak tidak dapat mengikuti landasan faksi tersebut. Namun dari kesemuanya, tak ada satu pun yang memperjuangkan kepentingan kita. Akan ada banyak energi yang terbuang sia-sia dalam rutinitas tuding-menuding ini. 

Dengan aksi langsung, kita tidak membutuhkan dagelan semacam itu: berbagai kelompok yang berbeda dapat menggunakan cara yang berbeda juga—semua itu dilakukan menurut apa yang mereka percayai dan mereka butuhkan. Berikutnya, yang lebih penting, mereka merasa nyaman melakukannya. Dengan demikian, kemungkinan untuk membangun kerjasama yang saling mengisi dapat terjadi. 

Masyarakat yang menggunakan aksi langsung yang berbeda-beda tidak perlu berdebat sengit, kecuali mereka memang sedang mencari konflik (mungkin karena ekses pengalaman pemilu bertahun-tahun yang membuat mereka sulit untuk menerima pendapat berbeda dari yang lain). Konflik yang terjadi di masa-masa pemilu seringkali menjadi pengalihan dari permasalahan-permasalahan yang nyata, sebagaimana ketika beberapa kelompok masyarakat terlibat dalam drama dan konflik dari partai politik tertentu. Dengan aksi langsung, permasalahan yang mendesak harus diangkat, dibahas, dan menuntut untuk diselesaikan. 

Lagipula, Pemilu hanya dilakukan dalam kurun waktu lima tahun sekali. Aksi langsung dapat dilakukan kapan saja. Pemilu hanya mengangkat beberapa agenda politik yang dibuat oleh elit politik, sementara aksi langsung dapat dilakukan di setiap aspek kehidupanmu dan di mana saja Anda berada. Pemilu dan voting sering dilebih-lebihkan sebagai “kebebasan” yang sedang beraksi. Pemilu bukanlah kebebasan, karena kebebasan berarti secara aktif memikirkan dan memutuskan sesuatu dari awal—bukan sekedar kebebasan dalam memilih apa yang hanya disediakan oleh mereka, para elit politik yang tak pernah kita kenal. Tak ada yang dapat menggantikan aksi langsung. Dengan aksi langsung, Anda sendirilah yang membuat rencana, mencoba pilihan-pilihan dan resiko-resikonya. 

Dan batas dari semua itu hanyalah langit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar