Bagian dua
PERNYATAAN PERTAMA :
Habib Munzir berkata :
“Sebagaimana para pakar hadits bukanlah sebagaimana yang terjadi dimasa kini yang mengaku–ngaku sebagai pakar hadits. Seorang ahli hadits mestilah telah mencapai derajat Al Hafidh. Al Hafidh dalam para ahli hadits adalah yang telah hafal 100.000 hadits berikut hukum sanad dan matannya, sedangkan 1 hadits yang bila panjangnya hanya sebaris saja itu bisa menjadi dua halaman bila ditulis berikut hukum sanad dan hukum matannya, lalu bagaimana dengan yang hafal 100.000 hadits?
Diatas tingkatan Al Hafidh ini masih adalagi yang disebut Al Hujjah (Hujjatul Islam) yaitu yang hafal 300.000 hadits dengan hukum matan dan hukum sanadnya, diatasnya adalagi yang disebut : Al Hakim, yaitu pakar hadits yang sudah melewati derajat Al Hafidh dan Al Hujjah, dan mereka memahami banyak lagi hadits – hadits yang teriwayatkan. (Hasyiah Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar Al Atsqalaniy)”
SANGGAHAN
Pernyataan Habib Munzir diatas perlu ditinjau kembali.
Sebelumnya perlu diketahui –oleh para pembaca sekalian- bahwa kitab Hasyiah Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar bukan karangan Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar Al Atsqalaniy.
Seseorang yang tidak pernah menelaah kitab Hasyiah Luqathuddurar ketika membaca perkataan Habib Munzir “Hasyiah Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar Al Atsqalaniy” akan menyangka bahwa pengarang kitab ini adalah Al-Imam Ibnu Hajar.
Akan tetapi yang benar, pengarang kitab tersebut adalah Abdullah bin Husain Khoothir. Adapun Imam Ibnu Hajar adalah pengarang Nukhbatul Fikar dan juga syarahnya Nuzhaton Nazhor.
Adapun pernyataan Habib Munzir :
“Seorang ahli hadits mestilah telah mencapai derajat Al Hafidh. Al Hafidh dalam para ahli hadits adalah yang telah hafal 100.000 hadits berikut hukum sanad dan matannya”
Pernyataan ini tidak pernah ditemukan dalam buku-buku mustholah al-hadits (ilmu yang membahas kaedah-kaedah hadits).
Para pembaca sekalian setelah merujuk ke kitab Luqathudduror ternyata penulis kitab tersebut tidak pernah menyatakan apa yang dinyatakan oleh Habib Munzir bahwa seorang tidak bisa jadi ahli hadits kecuali setelah mencapai derajat Al-Hafizh yang menghapal 100 ribu hadits.
Penulis kitab kitab Hasyiah Luqoth Ad-Duror berkata :
“Aku melihat di sebagian kitab dinukil dari Al-Munaawi bahwasanya ahli hadits bertingkat-tingkat. Tingkatan pertama adalah At-Thoolib –dan dia adalah pemula-, kemudian Al-Muhaddits, dan ia adalah seorang yang membawa (menerima periwayatan) hadits dan memiliki perhatian terhadap hadits baik dari sisi periwayatan maupun sisi dirooyah (*makna hadits). Tingkatan berikutnya adalah Al-Haafizh, ia adalah orang yang menghafal 100 ribu hadits baik matannya maupun isnadnya, meskipun dengan jalan-jalan periwayatan yang berbilang, serta ia memahami apa yang ia butuhkan. Tingkatan berikutnya adalah Al-Hujjah, ia adalah orang yang menguasai 300 ribu hadits. Tingkatan selanjutnya adalah Al-Haakim, ia adalah orang yang ilmunya menguasai seluruh hadits-hadits yang diriwayatkan baik matan maupun isnad, baik ilmu jarh wa ta’dilnya, serta sejarahnya, sebagaimana dikatakan oleh sekelompok ahli tahqiq” (Haasyiyah Luqot Ad-Duror bi Syarh Matn Nukhbah Al-Fikr, karya Abdullah bin Husain Khoothir As-Samiin, ulama abad 14 hijriyah).
Jadi dari perkataan di atas, terlihat jelas bahwa seorang ahli hadits tidak mesti harus menjadi seorang Al Hafizh, akan tetapi seseorang telah dikatakan sebagai muhaddits jika telah memiliki perhatian terhadap hadits baik riwayat maupun diroyahnya.
PERNYATAAN KEDUA :
Habib Munzir berkata:
“Perlu diketahui bahwa Imam Syafii ini lahir jauh sebelum Imam Bukhari, Imam Syafii lahir pada tahun 150 Hijriyah dan wafat pada tahun 204 Hijriyah, sedangkan Imam Bukhari lahir pada tahun 194 Hijriyah dan wafat pada 256 Hijriyah. Maka sebagaimana sebagian kelompok banyak yang meremehkan Imam syafii, dan menjatuhkan fatwa–fatwa Imam Syafii dengan berdalilkan Shahih Bukhari, maka hal ini salah besar, karena Imam Syafii sudah menjadi Imam sebelum usianya mencapai 40 tahun, maka ia telah menjadi Imam besar sebelum Imam Bukhari lahir ke dunia.“
SANGGAHAN
Pernyataan Habib Munzir ini merupakan pernyataan yang sangat aneh. Apakah kalau Imam Syafii yang sudah jadi imam sebelum imam Al-Bukhari lahir ke dunia, lantas fatwa beliau tidak boleh dikritik oleh hadits-hadits shahih yang terdapat dalam shahih al-Bukari??!!
Pernyataan yang aneh ini melazimkan banyak kerancuan, diantaranya :
Pertama : Pernyataan bahwa fatwa-fatwa Imam As-Syafi’i tidak boleh dikritik atau dikalahkan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari merupakan pernyataan yang SANGAT BERBAHAYA !!!!. Karena hal ini melazimkan mengedepankan dan mendahulukan perkataan Imam As-Syafii daripada sabda-sabda Habiibuna Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih yang diriwayatkan dalam shahih al-Bukhari!!, yang merupakan kitab yang paling shahih setelah Al-Qur’an !!!.
Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS Al-Hujuroot : 1)
Kedua: Hal ini bertentangan dengan wasiat Imam As-Syafi’i, beliau rahimahullah telah berkata
“Tidak ada seorangpun keculai ada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak ia ketahui. Maka bagaimanapun aku berpendapat dengan suatu perkataan atau aku membuat kaidah yang ternyata ada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi perkataanku maka pendapat yang benar adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan itulah pendapatku.” (Taariikh Dimasyq 51/389)
“Jika kalian mendapati sunnah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi perkataanku maka ambillah sunnah dan tinggalkanlah perbuatanku, karena aku berpendapat dengan sunnah tersebut” (Taariikh Dimasq 51/389)
“Seluruh hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka itu adalah pendapatku, meskipun kalian tidak mendengarnya dariku” (Taariikh Dimasyq 51/389)
“Tidak ada seorangpun keculai ada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak ia ketahui. Maka bagaimanapun aku berpendapat dengan suatu perkataan atau aku membuat kaidah yang ternyata ada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi perkataanku maka pendapat yang benar adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan itulah pendapatku.” (Taariikh Dimasyq 51/389)
“Jika kalian mendapati sunnah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi perkataanku maka ambillah sunnah dan tinggalkanlah perbuatanku, karena aku berpendapat dengan sunnah tersebut” (Taariikh Dimasq 51/389)
“Seluruh hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka itu adalah pendapatku, meskipun kalian tidak mendengarnya dariku” (Taariikh Dimasyq 51/389)
Imam An-Nawawi berkata :
“Telah sah dari Imam As-Syafii rahimahullah bahwasanya beliau berkata : “Jika kalian mendapati dalam kitabku penyelisihan terhadap sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka berpendapatlah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggalkanlah pendapatku”. Dan diriwayatkan dari Imam As-Syafi’i : “Jika telah shahih sebuah hadits yang bertentangan dengan pendapatku maka amalkanlah hadits dan tinggalkanlah pendapatku”, atau Imam As-Syafii berkata, “Itulah mdzhabku”, dan telah diriwayatkan makna seperti ini dengan lafal-lafal yang bermacam-macam.
“Telah sah dari Imam As-Syafii rahimahullah bahwasanya beliau berkata : “Jika kalian mendapati dalam kitabku penyelisihan terhadap sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka berpendapatlah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggalkanlah pendapatku”. Dan diriwayatkan dari Imam As-Syafi’i : “Jika telah shahih sebuah hadits yang bertentangan dengan pendapatku maka amalkanlah hadits dan tinggalkanlah pendapatku”, atau Imam As-Syafii berkata, “Itulah mdzhabku”, dan telah diriwayatkan makna seperti ini dengan lafal-lafal yang bermacam-macam.
Para sahabat kami (*dari kalangan ulama besar madzhab syafi’i) telah mengamalkan hal ini (*yaitu wasiat Imam As-Syafii untuk mengikuti hadits dan menginggalkan pendapatnya) dalam permasalahan at-Tatswiib dan mempersyaratkan untuk bertahallul dari ihrom karena sakit dan permasalahan-permasalahan yang lain yang sudah ma’ruuf dalam buku-buku madzhab” (Al-Majmuu’ syarh Al-Muhadzdzab 1/104)
Imam An-Nawawi juga berkata :
“Dan kami telah meriwayatkan dari Imam Abu Bakr Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah yang dikenal sebagai imamnya para imam. Dan karena tingkat beliau yang tinggi dalam hafalan haditsnya dan pengetahuan tentang sunnah-sunnah Nabi maka beliau ditanya : “Apakah engkau tahu ada sunnah yang shahih yang tidak dicantumkan oleh Imam As-Syafii dalam kitab-kitab beliau?”, maka beliau (*Ibnu Khuzaimah) menjawab :
Tidak ada”.
“Dan kami telah meriwayatkan dari Imam Abu Bakr Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah yang dikenal sebagai imamnya para imam. Dan karena tingkat beliau yang tinggi dalam hafalan haditsnya dan pengetahuan tentang sunnah-sunnah Nabi maka beliau ditanya : “Apakah engkau tahu ada sunnah yang shahih yang tidak dicantumkan oleh Imam As-Syafii dalam kitab-kitab beliau?”, maka beliau (*Ibnu Khuzaimah) menjawab :
Tidak ada”.
Namun meskipun demikian Imam As-Syafii rahimahullah tetap berhati-hati –karena menguasai seluruh hadits-hadits Nabi yang shahih merupakan perkara yang mustahil bagi manusia-, maka beliaupun mengatakan wasiat beliau -yang telah diriwayatkan dari berbagai sisi- untuk mengamalkan hadits yang shahih dan meninggalkan pendapat beliau yang menyelisihi nas yang shahih dan jelas.
Wasiat beliau ini telah dilaksanakan oleh para sahabat kami dalam banyak permasalahan fikih yang masyhuur. Seperti permasalahan at-tatswiib dalam adzan subuh, mempersyaratkan untuk bertahallul dalam haji karena ada udzur, dan masalah-masalah yang lainnya”(Al-Majmuu’ syarh Al-Muhadzdzab 1/28)
Ketiga: Pernyataan Habib Melazimkan bahwa orang yang sudah menjadi imam terdahulu tidak boleh dikritik oleh orang setelahnya. Dan kelaziman ini berarti:
- Melazimkan Imam As-Syafi’i tidak boleh mengkritik Imam Malik, yang merupakan gurunya Imam As-Syafi’i
- Terlebih lagi Imam As-Syafii tidak boleh mengkritik Imam Abu Hanifah yang lebih senior lagi daripada Imam Malik
- Bahkan para pengikut madzhab As-Syafi’i tidak boleh menikam fatwa-fatwa Imam Malik dan Imam Abu Hanifah karena kedua Imam tersebut lebih senior dan lebih dahulu jadi imam daripada imam As-Syafi’i
Keempat: Apakah ada metode pentarjihan seperti ini dalam kitab-kitab fikih? Yang lebih tua dan lebih dulu jadi imam tidak boleh dikritik dengan perkataan yang lebih muda dan lebih terbelakang jadi imam??,
Adakah kitab ushul fiqh yang membahas dan menyatakan metode ini…?, dalam madzhab apakah metode seperti ini??.
Ataukah ini hanya madzhab khusus Habib Munzir –yang konon ilmunya diperoleh dengan sanad-??.
Kelima: Pernyataan Habib Munzir ini melazimkan bahwasanya Imam As-Syafii ma’suum (tidak mungkin bersalah).
Ingat para pembaca budiman…yang saya sebutkan adalah sebuah kelaziman dari sebuah pernyataan Habib Munzir, jadi jangan sampai keliru dipahami bahwa Habib Munzir yang menyatakannya, tapi ini kelaziman dari pernyataan Habib.
Perlu untuk dipahami oleh para pembaca sekalian :
1. Bahwa setiap Imam, siapapun dia –bahkan shahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu- tidak maksum dari kesalahan.
2. Setiap ulama yang tidak sependapat dengan Imam Asy Syafi’iy rahimahullah bukan berarti beliau meremehkan Imam Asy Syafi’iy, akan tetapi ulama tersebut memilih pendapat yang menurutnya lebih dekat dengan dalil dari Al Quran dan Sunnah yang shahih berdasarkan pemahaman para shahabat radhiyallahu ‘anhum.
PERNYATAAN KETIGA :
Habib Munzir berkata :
“Lalu bagaimana dengan saudara-saudara kita masa kini yang mengeluarkan fatwa dan pendapat kepada hadits–hadits yang diriwayatkan oleh para Imam ini? Mereka menusuk fatwa Imam Syafii, menyalahkan hadits riwayat Imam-Imam lainnya.
Seorang periwayat mengatakan hadits ini dhoif, maka muncul mereka ini memberi fatwa bahwa hadits itu munkar, darimanakah ilmu mereka? Apa yang mereka fahami dari ilmu hadits? Hanya menukil-nukil dari beberapa buku saja, lalu mereka sudah berani berfatwa…”
“Saudara–saudaraku yang kumuliakan, kita tidak bisa berfatwa dengan buku-buku, karena buku tidak bisa dijadikan rujukan untuk mengalahkan fatwa para Imam terdahulu, bukanlah berarti kita tidak boleh membaca buku, namun maksud saya bahwa buku yang ada zaman sekarang ini adalah pedoman paling lemah dibandingkan dengan fatwa-fatwa Imam-Imam terdahulu”
SANGGAHAN :
Pernyataan Habib Munzir: “Saudara–saudaraku yang kumuliakan, kita tidak bisa berfatwa dengan buku-buku, karena buku tidak bisa dijadikan rujukan untuk mengalahkan fatwa para Imam terdahulu, bukanlah berarti kita tidak boleh membaca buku, namun maksud saya bahwa buku yang ada zaman sekarang ini adalah pedoman paling lemah dibandingkan dengan fatwa-fatwa Imam-Imam terdahulu“
Pertama: Ini adalah pernyataan sangat berbahaya karena menimbulkan keraguan terhadap buku-buku yang ada di zaman sekarang ini. Dan hal ini tentunya akan meninggalkan keraguan terhadap agama, karena untuk mempelajari agama di zaman sekarang ini melalui buku-buku yang ada.
Kedua: Ada beberapa pertanyaan yang saya tanyakan kepada Habib Munzir dan ini adalah sanggahan dengan pertanyaan:
- Jika buku-buku agama yang digunakan untuk mengkritik fatwa-fatwa imam-imam dahulu tidak bisa dijadikan pedoman, lantas bagaimana cara kaum muslimin belajar agama?, apakah harus dengan sistem sanad yang digembar-gemborkan oleh para pendukung Habib Munzir??
- Bukankah fatwa-fatwa imam-imam tersebut juga termaktub dan terdapat dalam buku-buku?, ataukah Habib Munzir mendapatkan fatwa-fatwa tersebut tidak melalui buku-buku?. Jika tidak melalui buku-buku, lantas dari mana? Melalui sanad guru??!!
- Jika ternyata fatwa-fatwa tersebut dinukil dari buku-buku lantas bukankah buku-buku tersebut juga tidak bisa menjadi pedoman?
Ketiga : Habib sendiri menyelisihi metode yang dia canangkan sendiri.
Bukankah Habib Munzir tatkala membolehkan beristighootsah kepada mayat juga berpedoman kepada buku-buku zaman sekarang???!!. Demikian pula, bukankah Habib Munzir tatkala membolehkan membangun kuburan di masjid juga berpedoman dengan fatwa Imam Syafii yang terdapat dalam buku Faidhul Qodiir, (lihat kembalihttp://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/183). Yang lebih parah ternyata Habib Munzir salah menukil dan akhirnya terjerumus dalam kekeliruan. Jadi ternyata bukan bukunya yang keliru akan tetapi Habib Munzir yang salah menukil dari buku tersebut !!!!. , atau mungkin saja Habib Munzir menukil dari buku Faidhul Qodiir dalam cetakan lain yang tidak diragukan, dan bukan cetakan zaman sekarang yang tidak bisa dijadikan pedoman??!!
PERNYATAAN KEEMPAT :
Habib Munzir berkata :
“Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ini hafal 1.000.000 hadits, lalu berapa luas pemahaman si penerjemah atau pensyarah yang ingin menerjemahkan keluasan ilmu Imam Ahmad dalam terjemahannya?
Bagaimana tidak? Sungguh sudah sangat banyak hadits – hadits yang sirna masa kini, bila kita melihat satu contoh kecil saja, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1.000.000 hadits, lalu kemana hadits hadits itu? Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad haditsnya hanya tertuliskan hingga hadits No.27.688, maka kira kira 970.000 hadits yang dihafalnya itu tak sempat ditulis…!
Lalu bagaimana dengan ratusan Imam dan Huffadh lainnya? Lalu logika kita, berapa juta hadits yang sirna dan tak sempat tertuliskan?
Kesimpulan dari pernyataan Habib Munzir ini adalah :
- Imam Ahmad menghapal 1 juta hadits, dan yang termaktub dalam musnad Imam Ahmad hanya 27.688 hadits, jadi ada sekitar 970.000 hadits yang tidak sempat ditulis oleh Imam Ahmad
- Selain imam Ahmad masih ada imam-imam hufaadz yang lainnya yang juga hapalannya banyak, sehingga kesimpulannya berarti ada jutaan hadits yang sirna dan tidak sempat tertuliskan.
SANGGAHAN
Sanggahan dari pernyataan Habib Munzir ini dari dua sisi ;
Pertama: Maksud dari Imam Ahmad menghafal sejuta hadits bukanlah maksudnya beliau menghapal sejuta matan hadits dengan sejuta sanad.
Para ulama telah menjelaskan bahwa maksud dari hafalan Imam Ahmad sejuta hadits adalah disertai dengan pengulangan dan jalan-jalan haditsnya. Karena bisa jadi satu matan hadits memiliki banyak jalan-jalan periwayatan. Jika satu matan (teks hadits) memiliki 10 jalur periwayatan maka mereka menganggapnya 10 hadits. Bahkan terkadang satu hadits memiliki seratus atau lebih jalur periwayatan.
Oleh karenanya diriwayatkan juga bahwasanya Al-Imam Al-Bukhari menghafal 100 ribu hadits shahih, dan maksudnya adalah dengan pengulangan serta jalan-jalan hadits.
Berkata Al-Haafizh Al-’Irooqi :
“…Perkataan Imam Al-Ju’fiy (*yaitu Imam Al-Bukhari) : “Aku menghafal dari hadits shahih 100 ribu hadits”. Dan mungkin saja maksud Imam Al-Bukhari adalah dengan pengulangan dan juga (*termasuk) atsar-atsar mauquuf…” (Lihat Alfiyah Al-’Irooqiy)
“…Perkataan Imam Al-Ju’fiy (*yaitu Imam Al-Bukhari) : “Aku menghafal dari hadits shahih 100 ribu hadits”. Dan mungkin saja maksud Imam Al-Bukhari adalah dengan pengulangan dan juga (*termasuk) atsar-atsar mauquuf…” (Lihat Alfiyah Al-’Irooqiy)
Al-Hafizh As-Sakhoowi As-Syafii tatkala menyarah perkataan Al-’Irooqi ini berkata :
“Maksud Imam Al-Bukhariy tercapainya bilangan tersebut (100 ribu hadits shahih) dengan menghitung pula hadits-hadits yang berulang, dan juga menghitung hadits-hadits mauquf dan juga atsar-atsar para sahabat dan para tabi’in dan selain mereka, serta fatwa-fatwa mereka. Karena para salaf mereka menyebut seluruhnya (*hadits marfu’, hadits mauquf, dan atsar sahabat) dengan nama hadits. Dan dengan demikian mudah perkaranya, karena bisa jadi satu hadits memiliki 100 jalan atau lebih.
Lihatlah hadits “Al-A’maalu binniyyaat” …telah dinukilkan dari Al-Haafiz Abu Ismaa’iil Al-Anshooriy Al-Harowiy bahwasanya ia telah menulis hadits ini dari 700 para perawi yang meriwayatkan dari Yahyaa bin Sa’iid Al-Anshooriy. Dan Al-Ismaa’iliy mengomentari perkataan Al-Bukhari : “Hadits-hadits shahih yang aku tinggalkan lebih banyak” dengan perkataan beliau : “Seandainya Imam Al-Bukhariy mengeluarkan seluruh hadits yang ada padanya maka ia akan menggumpulkan dalam satu bab hadits jama’ah (banyak orang) dari sahabat, dan Imam Al-Bukhari akan menyebutkan jalan-jalan (*periwayatan) dari masing-masing sahabat tersebut jika shahih”
Lihatlah hadits “Al-A’maalu binniyyaat” …telah dinukilkan dari Al-Haafiz Abu Ismaa’iil Al-Anshooriy Al-Harowiy bahwasanya ia telah menulis hadits ini dari 700 para perawi yang meriwayatkan dari Yahyaa bin Sa’iid Al-Anshooriy. Dan Al-Ismaa’iliy mengomentari perkataan Al-Bukhari : “Hadits-hadits shahih yang aku tinggalkan lebih banyak” dengan perkataan beliau : “Seandainya Imam Al-Bukhariy mengeluarkan seluruh hadits yang ada padanya maka ia akan menggumpulkan dalam satu bab hadits jama’ah (banyak orang) dari sahabat, dan Imam Al-Bukhari akan menyebutkan jalan-jalan (*periwayatan) dari masing-masing sahabat tersebut jika shahih”
Al-Jauzaqiy berkata bahwasanya telah dilakukan istikhrooj terhadap hadits-hadits dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim (*yaitu meriwayatkan hadits-hadits yang terdapat dalam shahih al-Bukhari dan shahih Muslim akan tetapi tidak melalui jalur Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim), maka bilangannya mencapai 25.480 jalan”
Kemudian As-Sakhoowi menukil perkataan gurunya Ibnu Hajar, ia berkata :
“Guru kami (Ibnu Hajar al-’Asqolaaniy) berkata : Jika Al-Bukhari dan Muslim –dengan begitu ketatnya persyaratan mereka berdua- telah mencapai bilangan tersebut (*yaitu sekitar 14 ribu hadits) dengan pengulangan, maka hadits-hadits yang tidak dikeluarkan oleh mereka berdua berupa jalan-jalan (riwayat) dari matan-matan hadits yang telah dikeluarkan oleh mereka berdua bisa jadi juga mencapai jumlah bilangan tersebut atau lebih. Dan matan hadits-hadits yang shahih yang sesuai dengan persyaratan (kriteria) Al-Bukhari dan Muslim bisa juga mencapai jumlah bilangan tersebut, atau mendekatinya. Lalu jika bilangan-bilangan tersebut ditambah dengan atsar para sahabat dan tabiin maka bilangannya akan mencapai bilangan yang telah dihafal Imam Al-Bukhari (*yaitu sekitar 100 ribu hadits shahih), dan bisa jadi lebih banyak.
“Guru kami (Ibnu Hajar al-’Asqolaaniy) berkata : Jika Al-Bukhari dan Muslim –dengan begitu ketatnya persyaratan mereka berdua- telah mencapai bilangan tersebut (*yaitu sekitar 14 ribu hadits) dengan pengulangan, maka hadits-hadits yang tidak dikeluarkan oleh mereka berdua berupa jalan-jalan (riwayat) dari matan-matan hadits yang telah dikeluarkan oleh mereka berdua bisa jadi juga mencapai jumlah bilangan tersebut atau lebih. Dan matan hadits-hadits yang shahih yang sesuai dengan persyaratan (kriteria) Al-Bukhari dan Muslim bisa juga mencapai jumlah bilangan tersebut, atau mendekatinya. Lalu jika bilangan-bilangan tersebut ditambah dengan atsar para sahabat dan tabiin maka bilangannya akan mencapai bilangan yang telah dihafal Imam Al-Bukhari (*yaitu sekitar 100 ribu hadits shahih), dan bisa jadi lebih banyak.
Dan harus demikian penjelasannya, karena jika tidak demikian maka jika dihitung hadits-hadits yang terdapat dalam musnad-musnad, jami’-jami’, sunan-sunan, mu’jam-mu’jam, al-fawaaid dan juz-juz, dan yang selainnya yang ada pada tangan kita baik yang hadits-hadits shahih maupun tidak shahih maka tidak akan mencapai bilangan tersebut (*100 ribu) jika tanpa pengulangan. Bahkan tidak akan sampai setengahnya (*50 ribu)” (Fathul Mughiits 1/56-57)
Demikianlah penjelasan yang sangat gamblang dari Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqolaaniy As-Syafi’i.
Oleh karenanya jangan sampai seseorang berfikir bahwasanya jika Imam Al-Bukhari menghafal 100 hadits shahih padahal jumlah hadits-hadits dalam Shahih Al-Bukhari (disertai pengulangan) adalah sekitar 7000 dan tanpa pengulangan sekitar 4000 hadits, maka berarti masih tersisa 93.000 hadits shahih !!!, ini tentunya pemahaman yang keliru sebagaimana penjelasan Ibnu Hajr tadi.
Jadi dengan demikian maka maksud dari para imam tatkala mereka menyatakan telah menghafal atau menulis ratusan ribu hadits maka maksudnya adalah jumlah jalan-jalan haditsnya.
Ibnu Hajar juga berkata :
“Sa’iid bin Abi Maryam berkata : Aku mendengar Imam Malik bin Anas berkata : “Aku menulis dengan tanganku 100 ribu hadits”.
“Sa’iid bin Abi Maryam berkata : Aku mendengar Imam Malik bin Anas berkata : “Aku menulis dengan tanganku 100 ribu hadits”.
Al-Qoodhi Ibnu al-Muntaab mengomentari : “Dan seratus ribu yang didengar oleh Imam Malik maka semakin berlipat-lipat jumlahnya hingga di masa kami dan bercabang-cabang lebih banyak dari satu juta jalan” (An-Nukat ‘alaa Ibni as-Sholaah 1/184-185)
Berkata Imam Adz-Dzhabi As-Syafii :
“Dalam kitab “Taariikh Dimasyq” dari jalan Muhammad bin Nashr, ia mendengar dari Yahya bin Ma’iin ia berkata : “Aku telah menulis dengan tanganku satu juta hadits”. Aku (Imam Adz-Dzahabi) berkata : “Yaitu dengan berulang-ulang, tidakkah engkau melihatnya berkata : “Kalau kami tidak menulis hadits 50 kali maka kami tidak mengetahui hadits tersebut” (Siyar A’laam An-Nubalaa 11/84-85).
“Dalam kitab “Taariikh Dimasyq” dari jalan Muhammad bin Nashr, ia mendengar dari Yahya bin Ma’iin ia berkata : “Aku telah menulis dengan tanganku satu juta hadits”. Aku (Imam Adz-Dzahabi) berkata : “Yaitu dengan berulang-ulang, tidakkah engkau melihatnya berkata : “Kalau kami tidak menulis hadits 50 kali maka kami tidak mengetahui hadits tersebut” (Siyar A’laam An-Nubalaa 11/84-85).
Kedua : Pernyataan logika Habib Munzir bahwasanya ada jutaan hadits yang sirna…, maka ini bisa menimbulkan keraguan kepada kaum muslimin akan kesempurnaan Islam dan penjagaan Allah Ta’ala terhadap Islam. Karena hal ini melazimkan bahwa ada hadits-hadits tentang amalan-amalan dan penjelasan-penjelasan Islam yang telah hilang. Kalau hadits-hadits yang ada di buku-buku hadits seluruhnya (tanpa perulangan) tidak sampai 50 ribu hadits -sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar tadi- padahal jumlah hadits yang sirna menurut Habib Munzir adalah jutaan maka tentunya yang terjaga dalam islam kurang dari 5% !!!. Tentunya hal ini sangat menimbulkan keraguan akan kesempurnaan Islam.
Dan yang benar adalah bahwasanya seluruh hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih pasti sampai kepada kita dan terjaga, tidak ada satu hadits shahihpun yang hilang dan sirna –tidak sebagaimana persangkaan Habib Munzir-.
Hal ini dijelaskan dari tiga sisi pendalilan :
Pendalilan Pertama : Kita diperintahkan oleh Allah untuk mentadabburi dan mengamalkan al-Qur’an. Dan Allah telah menjelaskan kepada kita bahwasanya Allah telah menyerahkan penjelasan dan praktek isi al-Qur’an kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan(QS An-Nahl : 44)
وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلا لِتُبَيِّنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS An-Nahl : 64)
Karenanya penjagaan Allah kepada Al-Qur’an melazimkan penjagaan Allah terhadap hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan penjelasan bagi Al-Qur’an. Dan penjagaan Al-Qur’an mencakup penjagaan terhadap lafal-lafalnya dan juga penjelasannya melalui hadits-hadits Nabi yang shahih.
Pendalilan Kedua : Dalam banyak ayat Allah memerintahkan kita untuk taat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya firman Allah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ (٥٩)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) (QS An-Nisaa : 59)
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. (QS An-Nisaa : 80)
Dan Allah memerintah kita untuk kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala terjadi perselisihan.
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. (QS An-Nisaa : 59)
Allah memerintahkan kita untuk meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (Al-Ahzaab : 21)
Lantas bagaimana kita bisa melaksanakan perintah-perintah Allah ini jika kemudian Allah tidak menjaga hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam??. Kalau kita meyakini ada hadits-hadits (apalagi berjuta-juta) hadits yang hilang maka berarti Allah telah membebankan kepada kita apa yang tidak mungkin bisa kita laksanakan !!!. Kalau berjuta-juta hadits hilang dan yang tersisa hanya 50 ribu hadits lantas bagaimana kita bisa meneladani Nabi?, bagaimana kita bisa merujuk kepada sunnah tatkala berselisih?, bagaimana kita bisa menghindari larangan-larangan Nabi??!!. Oleh karenanya pengraguan akan terjaganya hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengantarkan pada pengraguan terhadap Al-Qur’aan !!!
Pendalilan Ketiga : Sabda-sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan wahyu dari Allah sebagaimana Al-Qur’an, karenanya sabda-sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk adz-dzikr yang akan dijamin oleh Allah penjagaannya.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata
“Allah berfirman :
“Allah berfirman :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (QS Al-Hijr : 9)
Dan Allah berfirman :
قُلْ إِنَّمَا أُنْذِرُكُمْ بِالْوَحْيِ
Katakanlah (hai Muhammad): “Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu” (QS Al-Anbiyaa’ : 45)
Katakanlah (hai Muhammad): “Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu” (QS Al-Anbiyaa’ : 45)
Allah mengabarkan –sebagaimana telah lalu- bahwasanya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruhnya adalah wahyu, dan tidak ada perselisihan bawhasanya wahyu merupakan adz-dzikr. Dan Adz-Dzikr terjaga (oleh Allah) berdasarkan nash dari al-Qur’an. Maka dengan demikian benarlah bahwa seluruh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terjaga dengan penjagaan Allah, terjamin bagi kita bahwa tidak ada sedikitpun yang hilang, karena sesuatu yang dijaga oleh Allah maka kita yakin bahwa tidak akan ada sedikitpun yang hilang, seluruh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dinukilkan kepada kita” (Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam 1/98)
Ibnu Hazm rahimahullah juga berkata :
“Sesungguhnya Allah telah berfirman :
“Sesungguhnya Allah telah berfirman :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (QS Al-Hijr : 9)
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (QS Al-Hijr : 9)
Maka telah terjamin di sisi setiap orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat bahwasanya sesuatu yang telah dipegang oleh Allah untuk menjaganya maka selamanya tidak akan hilang. Dan tidak seorang muslimpun yang ragu akan hal ini. Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruhnya adalah wahyu berdasarkan firman Allah
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (٣)إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى (٤)
Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (QS An-Najm : 2-4).
Dan umat seluruhnya telah bersepakat bahwa wahyu adalah dzikr, dan adz-Dzikr dijaga oleh Allah berdasarkan nash al-Qur’an, maka sabda-sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti dijaga oleh Allah, pasti seluruh sabda-sabda Nabi telah dinukil kepada kita” (Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam 2/71)
Dari penjelasan di atas maka dipahami bahwasanya meskipun para ulama menghafal ratusan ribu hadits atau bahkan sejuta hadits maka mereka memilih dari jalan-jalan jalur periwayatan hadits-hadits shahih tersebut. Sehingga apa yang mereka tulis telah mewakili kebanyakan apa yang tidak mereka tuliskan dari hadits-hadits shahih.
Ibnu Hajr Al-’Asqolaaniy berkata:
“Abu Hafsh Umar bin Abdil Majiid Al-Mayaanisi dalam kitabnya “Iidhooh ma laa yasa’u al-muhadditsa jahluhu” menyebtukan : Kandungan hadits-hadits dalam shahih al-Bukhari yang jumlahnya 7600 sekian hadits telah dipilih oleh Imam Al-Bukhari dari satu juta 600 ribu sekian hadits” (An-Nukat ‘alaa Ibni as-Sholaah 1/190)
“Abu Hafsh Umar bin Abdil Majiid Al-Mayaanisi dalam kitabnya “Iidhooh ma laa yasa’u al-muhadditsa jahluhu” menyebtukan : Kandungan hadits-hadits dalam shahih al-Bukhari yang jumlahnya 7600 sekian hadits telah dipilih oleh Imam Al-Bukhari dari satu juta 600 ribu sekian hadits” (An-Nukat ‘alaa Ibni as-Sholaah 1/190)
Kota suci Mekah 30 Oktober 2011 (3 Dzulhijjah 1432 H)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar